Senin 20 Jun 2022 21:18 WIB

3 Jenis Hubungan Spiritual Muslim yang Saling Berkaitan dan Tujuannya

Hubungan Muslim mulai dari kepada Tuhannya hingga kepada dirinya sendiri

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi hubungan Muslim dengan Allah SWT. Hubungan Muslim mulai dari kepada Tuhannya hingga kepada dirinya sendiri
Foto: ANTARA/Rahmad
Ilustrasi hubungan Muslim dengan Allah SWT. Hubungan Muslim mulai dari kepada Tuhannya hingga kepada dirinya sendiri

REPUBLIKA.CO.ID, — Dalam kehidupan ini, setiap insan tidak mungkin sendirian. Mereka pasti berinteraksi dengan banyak dan berbagai pihak di luar dirinya. Tanpa mengadakan hubungan, tidak mungkin kebutuhan jasmani dan rohani dapat dipenuhi. 

Manusia diciptakan untuk menyembah hanya kepada Allah SWT. Karena itu, hubungan pun berlaku tidak hanya dengan sesama makhluk. Tiap insan yang beriman akan selalu menyadari adanya relasi vertikal, yakni antara Tuhan dan hamba-Nya. Berikut ini adalah tiga hubungan yang esensial menurut ajaran Islam. 

Baca Juga

Hablumminallah

Ada horizontal. Ada yang vertikal. Relasi yang mengarah ke atas itu bermakna hubungan antara manusia dan Allah Ta'ala. Dalam bahasa agama, hal itu diistilahkan sebagai hablumminallah.  

Seorang Mukmin akan menyadari pentingnya hablumminallah dengan cara menjaga keyakinan tauhid dan ibadahnya. Karena itu, kaitannya terutama adalah kesalehan ritual. Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bertanya kepada seorang sahabat, “Tahukah engkau apa hak Allah atas para hamba- Nya?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Lantas, beliau bersabda: 

حَقُّ اللهِ على العِبادِ أن يَعبُدوه ولا يُشرِكوا به شَيئًا “(Yaitu) hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” 

Hablumminannas

Hubungan ini bermakna horizontal. Maksudnya, relasi antarsesama manusia. Jangkauannya bukan hanya yang seiman.

Terhadap orang yang berlainan agama pun, relasi tersebut hendaknya terjalin dengan baik. Kesalehan sosial dapat timbul dari kebiasaan menjaga hablumminannas. Contoh sederhana saja, yakni berbuat rukun dengan tetangga. 

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.“ (QS An Nisa ayat 36).

Diri Sendiri

Manusia adalah makhluk sosial. Bagaimanapun, tiap orang memiliki kekhasan individual. Bahkan, tidak ada sidik jari yang sama antara orang per orang. Islam mengajarkan umatnya untuk selalu memperhatikan hak dan kewajiban. 

Tubuh pun memiliki hak-hak yang mesti dipenuhi. Misalnya, hak konsumsi makanan dan minuman yang halal lagi baik (thayyiban).

Suatu sajian mungkin saja halal dan memuaskan rasa lapar. Namun, pilah-pilih juga perlu agar sistem percernaan dapat menerimanya tanpa rasa sakit yang datang kemudian.    

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement