REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polri membentuk tim khusus untuk mengevaluasi seluruh keputusan dari sidang Komisi Etik Profesi Polri (KEPP) 2020. Termasuk untuk mengevaluasi putusan sidang KEPP terkait AKBP Raden Brotoseno. Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan, evaluasi dari tim khusus tersebut sebagai proses Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan yang dinilai tak memenuhi keadilan bagi publik.
“Tim khusus ini nanti diketuai oleh Irwasum dan beranggotakan Kadiv Propam dari Kadivkum, dan juga melibatkan beberapa pakar dan ahli hukum,” ujar Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (21/6/2022).
Perlengkapan administrasi pembentukan tim khusus tersebut, saat ini sudah ada di tangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk disetujui. “Setelah Bapak Kapolri setuju, dan mengesahkan tim khusus tersebut, sesegera mungkin tim khusus tersebut akan mengaudit putusan-putusan yang dikeluarkan oleh sidang etik dari tahun 2020,” kata Dedi.
Dedi tak menampik, pembentukan tim khusus dan evaluasi keputusan KEPP itu bagian dari upaya Kapolri untuk melakukan PK atas putusan AKBP Brotoseno. Namun, dikatakan Dedi, bukan cuma persoalan tersebut, namun seluruh keputusan sidang KEPP 2020 dan seterusnya akan dievaluasi.
Kata Dedi, jika ada penilaian dari tim khusus keputusan KEPP keliru dan tak memenuhi keadilan bagi masyarakat, PK akan segera diajukan. “Ini yang jelas, ada komitmen dari Kapolri, Wakapolri untuk mengambil sikap yang sangat tegas, untuk perbaikan institusi kepolisian ke depan,” ujar Dedi.
Pekan lalu, Kapolri Sigit resmi mengundangkan Peraturan Kapolri (Perkapolri) 7/2022. Perkapolri baru itu, revisi atas aturan serupa nomor 14/2011 tentang KEPP dan 19/2012 tentang Organisasi KEPP. Dalam perevisian perkap tersebut, Polri mengubah dan menambahkan aturan baru. Menyangkut soal PK, diatur khusus dalam Bab ke VI, tentang KKEP Peninjauan Kembali (PK). Pada bagian ke-1 umum, disebutkan dalam Pasal 83 yang terdiri dari tiga ayat. Ayat (1), disebutkan Kapolri berwenang melakukan PK atas putusan KKEP atau putusan KKEP Banding, yang telah final dan mengikat.
Dalam ayat (2) disebutkan pula PK sebagaimana dalam ayat (1) dilakukan apabila, dalam putusan KEPP atau KEPP Banding terdapat suatu kekeliruan. Juga, jika ditemukan alat bukti yang belum diperiksa pada saat sidang KEPP atau KEPP banding. Dalam ayat (3), PK sebagaimana dalam ayat (1), dapat dilakukan paling lama tiga tahun sejak putusan KKEP atau putusan KKEP Banding. Dengan Perkapolri yang baru tersebut, Kapolri dapat meminta putusan final KKEP atas kasus AKBP Brotoseno untuk dilakukan PK.
Perevisian Perkapolri 14/2011 dan 19/2012 menjadi Perkapolri 7/2022, terkait dengan polemik hukum AKBP Brotoseno. Kapolri Sigit, pekan lalu memerintahkan agar putusan KKEP terkait kasus AKBP Brotoseno dapat ditinjau kembali atau PK. Perintah tersebut, respons Kapolri atas desakan publik, yang mendesak agar AKBP Brotoseno dipecat dari keanggotaan kepolisian, lantaran sudah berstatus mantan narapida terkait kasus korupsi, bahkan pemerasan.
AKBP Brotoseno, tersangkut kasus penerimaan uang senilai Rp 1,9 miliar dalam kasus korupsi cetak sawah di Kalimantan Barat (Kalbar) 2018. Kasus tersebut terjadi ketika AKBP Brotoseno masih menjabat sebagai Kepala Unit-III Subdit-III Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dirtipikor) Bareskrim Polri. Vonis pengadilan dan hasil kasasi menghukumnya 5 tahun penjara.
Pemberian remisi tiga tahun membuatnya bebas pada 2020. Sidang KKEP juga menyatakan AKBP Brotoseno bersalah melakukan perbuatan tercela, tetapi cuma dihukum meminta maaf kepada atasan dan demosi jabatan. Hukuman internal Polri tersebut tak berujung pada pemecatan.
Karena itu, sipil dan para pegiat antikorupsi mendesak Kapolri Sigit melakukan pemecatan terhadap anggotanya itu. Atas desakan itu, pada Rabu (8/6), Kapolri menjanjikan untuk mengevaluasi putusan KEPP atas AKBP Brotoseno, dengan mekanisme PK.
“Ini akan membuka ruang kepada saya selaku Kapolri untuk meminta peninjauan kembali atau pelaksanaan peninjauan kembali terhadap putusan sidang etik AKBP Brotoseno,” kata Sigit.