REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK – Kecewa dengan respons Tim Pengadaan Tanah (TPT), seorang warga korban Cijago mulai melibatkan pengacara. Langkah hukum dinilainya sebagai solusi penyelesaian kerancuan dan ketidakjelasan proses pembebasan tanah yang ditemukannya selama ini.
Haryono, salah seorang warga korban Cijago, mengatakan upaya tersebut adalah upaya akhir yang dinilainya perlu karena aduannya selama ini tidak mendapatkan respons. Kesalahan berupa data fiktif yang ia temukan sudah disampaikannya ke sejumlah pihak seperti kelurahan, kecamatan, dan Panitia Pengadaan Tanah (P2T), namun tidak mendapatkan respons.
Menurut Haryono, kesalahan data tersebut sangat fatal karena berkaitan dengan sertifikat kepemilikan tanah yang menjadi dasar penetapan ganti rugi. Kesalahan pertama, ganti rugi yang disampaikan ditujukan untuk dua nama berbeda, yakni Linawati (orang tua Haryono), dan Tan Liang Sien, pemilik bidang di samping kiri lahan Haryono.
“Berarti menurut surat ini, ganti rugi untuk dua pemilik lahan berbeda ditetapkan dalam satu surat. Itu jelas salah,” katanya seraya menunjukkan surat penyampaian keputusan penetapan bentuk ganti rugi dari Pengadilan Negeri Depok tertanggal 24 Februari.
Kesalahan kedua, lanjutnya, nomor Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dicantumkan dalam sertifikat tersebut bukan nomor SHM Haryono ataupun Tan Liang Sien. “Ini nomor SHM pemilik bidang di sebelah kanan rumah saya, dan dia sudah menerima ganti rugi sejak lama,” katanya.
Ketiga, kata Haryono, berdasarkan peta proyek yang didapatnya dari pihak kontraktor, lahan milik Tan Liang Sien tidak termasuk bidang yang terkena proyek pembangunan jalan penghubung kantor tol dengan Jalan Putri Tunggal, Kelurahan Harjamukti tersebut. “Herannya, kok bisa terdata sebagai penerima ganti rugi meski namanya digabungkan dengan nama orang tua saya,” ujarnya.