Selasa 05 Jul 2011 16:44 WIB

BPPTK:Wilayah Selatan Merapi Sangat Berbahaya

Rep: yoebal ganesha/ Red: taufik rachman

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Wilayah Selatan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman yang termasuk Kawasan Rawan Bencana III termasuk daerah yang sangat berbahaya untuk dihuni kembali.

Pasalnya, kata Kepala BPPTK Yogyakarta, Subandriyo,  erupsi Merapi setelah letusan Oktober dan November 2010 telah mengubah kondisi gunung tersebut.

''Akibat letusan Oktober-November lalu, Merapi lalu membentuk kubah dengan diameter 500 m dan membuka sejauh 400 m ke arah Selatan,'' kata Subandriyo, Selasa (05/07).

Menurut dia, karakteristik letusan Merapi biasanya mengikuti arah kubah ini, dan artinya bila terjadi letusan kembali, awan panas akan mengarah ke Selatan. Ia mengatakan sebelumnya, kubah Merapi ini mengarah ke arah Barat dan Barat Daya. Kubah yang mengarah ke arah Barat tersebut terbentuk akibat letusan Merapi sekitar tahun 1930 dan 1931.

Menurut catatan, kata dia, sejak tahun 1780 sampai tahun 2010 Merapi telah meletus sebanyak 100 kali. Dikatakannya, sejak tahun 1930 itu setidaknya Merapi pernah meletus sebanyak 20 kali, dan arah awan panas mengikuti kondisi kubah, yakni ke arah Barat Daya.

''90 persen letusan sepanjang 80 tahun lalu sebelum tahun 2010 lalu mengarah ke arah Barat Daya,'' kata dia.

Katanya,  bila letusannya normal, maka biasanya aliran awan panas akan sejauh 7-8 km dan umumnya juga mengikuti aliran sungai berhulu di Merapi.

Namun, lanjutnya, dengan asumsi terbentuknya kubah akibat letuhan tahun 2010 yang ke arah Selatan, maka diprediksi letusan berikutnya akan mengarah ke Selatan, sehingga wilayah Selatan Merapi akan sangat berbahaya untuk ditinggali.

Menurut Subandriyo ia tak ingin berandai-andai tentang tingkat bahaya letusan tersebut.

Apalagi, kata dia, akibat erupsi tahun 2010 tersebut, kini kawasan Selatan Merapi sudah tidak ditumbuhi pepohonan lagi, dan sebagian kawasan itu juga sudah menjadi tumpukan pasir material Merapi. ''Jadi kondisinya ibarat jalan tol, tidak ada lagi hambatan bagi awan panas untuk meluncur ke bawah,'' tutur dia.

Subandriyo mengatakan Merapi mempunyai karakteristik tersendiri, dengan letusan yang tak teratur, dengan masa erupsi bisa hanya satu tahun sampai 18 tahun. ''Merapi pernah meletus dengan jarak waktu hanya dua tahun berturut-turut, tapi juga pernah juga istirahat dalam jangka waktu 18 tahun,'' tuturnya.

Jenis letusannya, kata Subandriyo, juga tak beraturan. Bisa meletus normal dengan membentuk kubah lava, disertai longsoran, dan awan panas dengan jarak tak jauh dari puncak. ''Tapi kalau sudah menyangkut letusan besar seperti tahun 2010 lalu, jarak jangkau awan panas ini sulit diprediksi,'' kata dia.

Ia mengingatkan letusan ke depan akan sangat berbahaya, karena seperti biasanya akan disertai dengan awan panas yang membawa material Merapi yang padat, dengan suhu ketika mencapai tanah bisa sekitar 500-600 derajat Celcius.

Menurut dia, material Merapi yang dihasilkan juga bisa sangat besar seperti yang terjadi pada letusan tahun 2010, yang menghasilkan material lebih dari 100 juta m3 disertai bahaya gas beracun CO2.

Dengan kondisi ini, kata dia, perlu dilakukan mitigasi yang terukur untuk menghindari jatuhnya korban jiwa dan harta bila Merapi meletus lagi.

Yang pasti, kata dia, mitigasi melalui pencegahan tak mungkin dilakukan, karena sampai saat ini tak ada teknologi yang bisa dipakai untuk mengubah struktur Merapi yang terbentuk akibat erupsi 2010 lalu.

Menurut dia, yang bisa dilakukan hanya melalui pengurangan dampak bencana, salah satunya dengan tidak menjadikan kawasan rawan bencana III Merapi menjadi tempat hunian tetap.

Dengan kondisi ini, kata dia, tentunya ke depan warga yang tinggal di kawasan Selatan Merapi harus semakin sadar bencana dan cara-cara menghindarinya

Ia mengatakakan untuk mengubah arah kubah semula di Barat menjadi arah Selatan saat ini, Merapi setidaknya membutuhkan waktu 80 tahun. ''Jadi arah letusan ke arah Selatan kemungkinan juga baru akan berubah setelah 80 tahun ke depan,'' tuturnya.

Berkaitan dengan kemungkinan aliran lahar dingin dan awan panas melalui  Kali Gendol dan Kali Opak, kata Subandriyo, BPPTK Yogya sudah membuatkan peta rawan bencana, dengan skala 1:50 ribu.

Menurut dia, peta ini  dapat dipakai oleh pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan tentang relokasi, dan juga untuk pembuatan RTRW kawasan tersebut

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement