REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Puluhan siswa SD Srunen, Desa Glagaharjo, batal belajar di sekolah barunya, karena para guru menolak mengajar di sekolah itu dengan alasan sekolah berada di lokasi berbahaya kawasan rawan bencana.
Kemarin, pada hari pertama masuk sekolah usai liburan lebaran, puluhan murid SD ini datang ke sekolah baru mereka, setelah bangunannya selesai dibangun kembali di Dusun Srunen.
Bangunan sekolah ini sebelum rusak akibat erupsi Merapi.
Sebelumnya mereka bersekolah di bangunan sekolah darurat di Dusun Banjarsari, dekat dengan shelter Banjarsari. Permasalahan ini timbul karena bangunan SD baru itu dibuat atas bantuan donatur tanpa koordinasi dengan Dinas Pendidikan dan Olahraga Sleman.
Sebaliknya, Dinas sendiri belum bisa menentukan akan membangun sekolah baru di lokasi mana, dan untuk sementara para murid ditampung belajar di bangunan darurat di Banjarsari
''Tadi pagi, puluhan anak-anak datang diantar orangtua ke sekolah baru. Tapi kok sampai pukul 08.00 belum ada guru yang datang. Padahal ini hari pertama anak -anak masuk sekolah setelah libur Lebaran,'' papar Dukuh Srunen, Sukatmin, Kamis (8/9).
Kepala Sekolah SD Srunen, Poniyam, menegaskan ia memang tak mengirim guru untuk mengajar di bangunan baru SD tersebut, karena lokasinya berada dalam Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi.
Menurut Poniyem, kegiatan belajar mengajar siswa dilakukan di SD darurat, sampai nanti Pemerintah Kabupaten membuatkan bangunan sekolah baru di lokasi yang aman.
Dijelaskannya, dari 147 siswa SD Srunen, kebanyakan para murid pada Kamis kemarin pergi ke bangunan baru tersebut. Murid yang datang ke bangunan SD darurat hanya 27 orang.
''Sesuai dengan kebijakan pemerintah kami tidak bisa kembali mengajar di sekolah lama karena daerah berbahaya. Selama belum ada perubahan kebijakan kami tetap akan mengajar siswa di SD darurat,'' tutur Poniyem.
Sikap Poniyem ini dibenarkan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Sleman, Arif Haryono. Dia berharap para orangtua siswa kembali belajar di sekolah darurat demi keamanan warga, bukan di sekolah lama, walapun gedungnya sudah dibangun kembali.
''Disana daerah terlarang, kami akan upayakan siswa untuk kembali belajar di shelter school untuk kenyamanan tanpa mengurangi proses pendidikan,” ujarnya.
Sebenarnya, kebanyakan orangtua murid SD itu menghendaki anak-anaknya dapat belajar di gedung baru itu, karena tempatnya lebih dekat ke rumah-rumah mereka.
''Kalau di SD darurat kami kesulitan untuk membiayi transportasinya. Setidaknya dibutuhkan uang Rp 10 ribu per hari untuk transportasi dari rumah ke SD darurat itu,'' kata Adi Wiyono, seorang wali murid.