REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN – Sedikitnya 18 ribu nelayan tradisional yang menggunakan alat tangkap tuaman dan pukat layang terancam melaut, akibat keluarnya Perda (Peraturan Daerah) Pemkab Sergai (Serdang Bedagai), yang melarang beroperasinya alat-alat tangkap ikan tradisional itu. Sementara jenis alat tangkap ikan pukat harimu (trawl) yang jelas-jelas dilarang, malah dibebaskan.
Ketua dan Wakil Sekretaris Amanat (Aliansi Masyarakat Nelayan Tradisional) Kabupaten Sergai, Muhammad Aswad dan Sunardi, didampingi sejumlah nelayan lainnya menyampaikan hal itu kepada Ketua Fraksi Partai Hanura DPRD Sumut, Zulkifli Effendi Siregar, Rabu (21/12).
“Perda yang telah disetujui DPRD Sergai pada 10 November 2011 lalu sangat memberatkan para nelayan tradisional dan kemungkinan mengancam kehidupan 18 ribu nelayan yang tergabung dalam Amanat. Sebab, bagaimana mungkin lagi kami menghidupi keluarga, jika kapal-kapal nelayan sudah dilarang beroperasi,” ujar Aswad.
Menurut Aswad, jauh sebelum Perda itu disahkan, pihaknya telah melakukan protes terhadap Raperda itu dan menggelar demo ke DPRD Sergai, tapi tidak digubris. “Kenyataannya, Perda tetap disahkan, dengan mengabaikan aspirasi kami,” tegas para nelayan.
Berkaitan dengan itu, para nelayan sangat berharap lembaga legislatif, khususnya Fraksi Hanura untuk menindak-lanjuti aspirasinya. Sebab, jika Perda ini tidak segera dicabut, dikhawatirkan 18 ribu nelayan Sergai yang tergabung dalam Amanat terancam tidak bisa melaut dan mengancam kehidupan keluarganya.
Mendengar pengaduan tersebut, Zulkifli Effendi Siregar mendesak Pemkab dan DPRD Sergai untuk segera mengkaji-ulang Perda yang meresahkan nelayan dimaksud. Jika memungkinkan harus secepatnya dibatalkan, sebab sangat menyengsarakan kehidupan nelayan.
“Perda itu tidak memihak nelayan tradisional. Yang seharusnya dilarang beroperasi itu adalah jenis trawl (pukat harimau), bukan alat tangkap ikan tradisional, seperti tuaman maupun pukat layang," tegas Zulkifli.