Selasa 05 Jul 2022 15:10 WIB

Paguyuban Para Korban Desak DPR Revisi UU ITE

UU ITE dinilai hanya dijadikan alat pembungkaman masyarakat yang kritis.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ilham Tirta
Kordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Kordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Paguyuban Korban UU ITE menggelar audiensi dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR. Dalam forum tersebut, mereka mendesak agar DPR merevisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Koordinator Paguyuban Korban UU ITE, Muhammad Arsyad mengatakan, pihaknya menjadi tempat mengadu bagi pihak-pihak yang menjadi korban dari payung hukum yang dinilai disalahkangunakan oleh sejumlah pihak. Harapannya dengan adanya revisi, UU ITE tak lagi memakan korban dari seseorang yang hanya melontarkan pendapat atau kritiknya.

Baca Juga

"Kami tergabung dalam satu koalisi, yaitu namanya koalisi serius. Kenapa serius? karena kami melihat bahwa revisi Undang-Undang ITE harus serius dilakukan dan harus serius benar-benar dijalankan," ujar Arsyad di Ruang Rapat Baleg, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/7/2022).

Ia menjelaskan, ada satu pasal dalam UU ITE yang sering disalahgunakan untuk mempidanakan seseorang, yakni Pasal 27. Bunyi pasal tersebut, "Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000."

"Selama UU ITE itu ada, apa pun yang dilakukan pemerintah, pasti ada oknum-oknum yang bisa melakukan pembungkaman dan membunuh demokrasi yang sudah kita bangun," ujar Arsyad.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti menyampaikan kepada Baleg bahwa UU ITE mengandung lebih banyak mudharat, daripada manfaatnya. Terutama dalam Pasal 27 yang juga menjerat dirinya.

Diketahui, Fatia ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan pada Maret lalu. UU ITE sebagai produk hukum justru lebih sering menjerat masyarakat yang menyampaikan kritiknya.

"UU ITE ini sebenarnya kalau saya bisa bilang tidak ada manfaatnya, lebih ke banyak mudaratnya. Karena semakin banyak orang yang menjadi korban, semakin banyak orang yang tidak berani menyatakan pendapat dan juga semakin bikin ribet kepolisian," ujar Fatia.

Wakil Ketua Baleg, Willy Aditya mengatakan, revisi UU ITE memang sudah masuk ke dalam  program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2022. Surat presiden (surpres)  juga disebut sudah diterima, tetapi surat tersebut tak bernomor dan tidak disertai dengan daftar inventarisasi masalah (DIM) pemerintah.

"Konfirmasi surpresnya ada nomor, tapi belum ada yang lain-lain. Jadi habis ini kami akan follow up ke pimpinan untuk memastikan surpresnya di mana," ujar Willy.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement