Belum kelar penolakan terhadap UU KPK yang baru diketok palu beberapa hari lalu, muncul RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan yang memunculkan polemik baru. Diantara pasal-pasal yang ada, dua RUU yang sedang dikritik habis oleh masyarakat ini dianggap mengistimewakan koruptor. Dalam Pasal 604 RKUHP, disebutkan seorang koruptor dihukum minimal penjara dua tahun dan minimal denda Rp10 juta. Sementara dalam Pasal 2 UU Tipikor yang memiliki rumusan sama persis, hukuman penjara itu minimal empat tahun dan denda minimal Rp1 miliar.
Revisi UU PAS membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 lalu mengembalikan pada pelaksanaan PP Nomor 32 Tahun 1999. Perubahan itu mempermudah syarat remisi dan pembebasan bersyarat bagi koruptor dan pelaku kejahatan luar biasa lainnya. (tempo.co, 18/9/2019). Ketiga RUU ini disinyalir memanjakan koruptor. Bukannya jera, mereka malah dinyamankan dengan berbagai produk undang-undang yang lebih menguntungkan para perampok uang negara.
UU KPK, RUU Pemasyarakatan, dan RUU KUHP dianggap tak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. Tak sesuai dengan komitmen Jokowi yang katanya akan memperkuat KPK. Faktanya, Jokowi pada akhirnya mengesahkan RUU KPK juga. Alhasil, nasib KPK terasa suram di masa depan. Geraknya diperlemah, aktivitasnya dibatasi, dan kewenangannya dimutilasi.
Ada lembaga anti rasuah saja korupsi terus meningkat. Bagaimana jadinya bila peran KPK mandul? Bukankah para maling berdasi itu akan berpesta pora diatas derita rakyat? Bahkan secara gamblang, Moeldoko mengatakan kehadiran KPK menghambat investasi. Belum lagi pernyataan aneh ketua MPR, Zulkifli Hasan. Ia mengatakan bila OTT KPK terus berlanjut akan banyak kepala daerah yang ditangkap. Secara tidak langsung, kedua tokoh itu telah mengkonfirmasi bahwa KPK adalah momok menakutkan bagi para koruptor.
Korupsi adalah musuh bersama. Hal ini bisa dilihat dari reaksi masyarakat terkait upaya pelemahan terhadap KPK. Baik kelompok pendukung penguasa ataupun kaum oposan sama-sama menolak keras UU KPK. Hanya pelaku korupsi dan pemangku kepentingan sajalah yang sepakat dengan UU dan sejumlah RUU yang memanjakan koruptor.
Korupsi sudah mejadi budaya politik dalam demokrasi. Biaya politik mahal menuntut seseorang harus balik modal. Bahkan berlaku curang. Salah satu jalan agar cepat balik modal adalah korupsi.
Ditambah, alam sekuler yang abai dengan ketakwaan dan rasa takutnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala memungkinkan seseorang bersikap khianat dan culas. Apatah lagi sistem sanksi yang tak memberi efek jera. Tak kapok berbuat korupsi.
Memberantas korupsi sampai ke akarnya memang susah. Sebab, sistem politiknya memberi celah berbuat korupsi. Hal ini tentu berbeda ketika Islam diterapkan. Tiap individu dibina agar berkepribadian Islam Tak hanya membentuk kesalihan personal. Islam juga akan mewujudkan masyarakat yang senantiasa beramar makruf nahi mungkar.
Sistem sanksinya memiliki dua fungsi, yaitu sebagai penebus dosa dan memberi efek jera. Rasa takutnya kepada Allah akan terbangun dalam diri setiap individu. Dengan begitu, ia tidak akan mudah berlaku khianat atau memakan uang rakyat.
Oleh karenanya, korupsi tak pernah habis dibabat selama hukumannya tak membuat jera. Hukum direvisi sekehendak kepentingan. Berpotensi berubah-ubah sesuai selera kekuasaan. Hal ini membuktikan bahwa hukum buatan manusia itu lemah. Kinilah saatnya kembalikan hukum itu pada pemilik kekuasaan sejati, yaitu Allah Subhanahu wa Ta'ala. Agar manusia tak mudah mengintervensi dan mengganti-ganti sesuka hati. Wallahu a'lam.
Pengirim: Chusnatul Jannah, Member komunitas creator nulis