REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Sabar adalah ketahanan psikis terhadap apa saja yang tidak disukai tabiat manusia. Kesabaran adalah melawan kehendak tabiatnya.
Dalam karya “Gundah!: Anotasi Kasidah Munfarijah” yang merupakan terjemah Kasidah Munfarijah, Abd Wahid, menjelaskan level berikutnya adalah kesabaran dengan tidak mencintai hal-hal yang bersifat duniawi.
Menurut wahid, kesabaran dalam bentuk ini kelak melahirkan sikap zuhud. Sedangkan level teratas adalah kesabaran menghadapi musibah, malapetaka, dan bencana.
Wahid mejelaskan, jalan menuju kesabaran ini terjal dan sukar dilalui karena hadiah bagi yang berhasil melaluinya sangat berharga, yakni sikap rida, pasrah, dan berprasangka baik kepada Allah SWT. Jadi, menurut Wahid, banyak yang salah sangka bahwa kesabaran adalah jalannya orang-orang yang frustasi.
Sejatinya, menurut dia, kesabaran adalah tahap awal, tengah, dan akhir dari suatu usaha. Kesabaran justru jalan bagi mereka yang optimis. Sedangkan orang yang kesabaran dan rasa syukurnya seimbang adalah hamba terbaik. Kendati demikian, ujian dan musibah selalu mengganggu keseimbangan kedunya.
Musibah besar yang bertubi-tubi acapkali membuat manusia lupa nikmat Allah SWT yang tidak kalah besar dan melimpah. Misalnya, seorang pemuda yang merasa dunia sudah tamat lantaran cintanya tidak berakhir di pelaminan. Pemuda itu lupa bahwa dirinya masih menghirup oksigen dengan lega dan menerima anugerah Tuhan lainnya.
Karenanya, dalam bait yang lain dijelaskan bahwa anugerah Tuhan yang tak terhingga. Bait tersebut memiliki arti, “Anugerah Terindah tak terhitung jemari tangan. Itu untuk ketentraman jiwa dan kebahagiaan”.
Menurut Wahid, makna leksikal baris puisi tersebut adalah “Anugerah Tuhan tak terhitung jemari tangan, itu untuk jiwa dan ruh yang mencari rumput”. Wahid pun menyamakan jiwa dan ruh tersebut dengan binatang ternak yang memerlukan makanan untuk bertahan hidup.
Wahid menjelaskan, makanan jiwa dan ruh adalah apa saja yang membuatnya damai, tentram, dan tenang. Hal itu berupa ilmu pengetahuan dan kesadaran pada Sang Pencipta. Menurut dia, jiwa yang lapar adalah jiwa yang tidak tersentuh kandungan kitab suci dan buku-buku pengetahuan, sedangkan ruh yang dahaga adalah ruh yang tidak disiram oleh kesadaran kepada pencipta-Nya.