Sabtu 23 Jul 2022 18:28 WIB

Warga Pulau Pari Gugat Semen Holcim atas Kenaikan Permukaan Laut

Mereka menuntut ganti rugi atas dampak lingkungan akibat aktivitas perusahaan itu.

Rep: Febryan A/ Red: Ilham Tirta
Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta.
Foto: Antara/R.Rekotomo
Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Empat warga Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, Jakarta, menggugat perusahaan semen Holcim ke otoritas konsiliasi di Swiss, Senin (11/7/2022). Mereka menuntut ganti rugi atas dampak lingkungan yang terjadi akibat aktivitas perusahaan berbasis di Swiss itu.

Mengutip laporan The Guardian, empat warga Pulau Pari itu mengatakan, mereka dan keluarganya sangat terdampak oleh krisis iklim berupa kenaikan permukaan air laut.

Baca Juga

Swiss Church Aid (HEKS/EPER), sebuah LSM yang mendampingi gugatan ini, menyatakan, naiknya permukaan air laut di sekitar Pulau Pari telah mengakibatkan peningkatan banjir. Banjir itu mengakibatkan kerusakan parah pada rumah, jalan, dan bisnis lokal.

LSM ini juga menyebut Pulau Pari kemungkinan akan tenggelam dalam beberapa dekade mendatang, kecuali ada pengurangan emisi karbon global secara drastis.

Edi Mulyono, salah satu penggugat mengatakan, dirinya kehilangan sebagian besar pendapatan dari usaha wismanya setelah banjir skala besar melanda Pulau Pari pada 2021. Dia menilai, kejadian itu tidak adil. Sebab, orang-orang Indonesia berkontribusi sangat kecil terhadap emisi global secara keseluruhan.

Edi bersama tiga warga lainnya akhirnya menggugat Holcim karena perusahaan tersebut berkontribusi besar atas emisi karbon yang memicu krisis iklim saat ini. “Jika sebuah perusahaan telah menyebabkan kerusakan, maka perusahaan itu harus bertanggung jawab,” kata Nina Burri, seorang ahli bisnis dan HAM di LSM HEKS/EPER, sekaligus pengacara warga Pulau Pari dalam kasus ini.

Holcim bergabung dengan perusahaan semen Prancis Lafarge pada tahun 2015 dan menjadikannya produsen semen terbesar di dunia. Penelitian oleh Climate Accountability Institute menunjukkan perusahaan gabungan tersebut mengeluarkan lebih dari 7 miliar ton karbondioksida sejak tahun 1950 hingga 2021.

Berdasarkan indeks sumber pencemar rumah kaca tahun 2021 yang dibuat University of Massachusetts Amherst, perusahaan gabungan tersebut berada di peringkat 47 dari 100 perusahaan penghasil emisi teratas. Dalam gugatannya, empat warga Pulau Pari itu berpendapat, Holcim memikul tanggung jawab yang proporsional atas krisis iklim yang diakibatkannya.

Mereka menuntut ganti rugi Rp 53 juta per orang sebagai kompensasi atas kerusakan mental dan biaya mitigasi krisis iklim seperti menanam bakau dan membangun pertahanan banjir. Mereka juga menuntut Holcim mengurangi emisi gas rumah kacanya sebesar 43 persen pada tahun 2030 dan 69 persen pada tahun 2040.

Kasus ini diajukan ke otoritas konsiliasi, yang merupakan langkah pertama dalam klaim perdata di Swiss. Jika mereka tidak dapat mencapai kesepakatan, kasus ini dapat diajukan ke pengadilan sipil.

Sebagai informasi, tuntutan ganti rugi ini merupakan gugatan kerusakan iklim berskala besar pertama terhadap sebuah perusahaan semen. Holcim tidak mau berkomentar segera atas gugatan ini. Tetapi, dalam sebuah pernyataan, Holcim mengaku "mengambil tindakan iklim dengan sangat serius" dan telah secara signifikan mengurangi jejak karbon selama dekade terakhir.

Menurut HEKS/EPER, Holcim sedang berupaya mengurangi emisinya, tapi upayanya terlalu minim dan sangat terlambat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement