Sabtu 23 Jul 2022 17:48 WIB

KPAI Desak Orang Tua Kenali Lingkungan Anak di Sekolah

Sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman justru menjadi ‘neraka’ bagi anak.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Ilham Tirta
Ilustrasi Bullying
Foto: Foto : MgRol_93
Ilustrasi Bullying

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN -- Bullying pada anak entah itu berupa kekerasan seksual maupun kekerasan fisik, masih sering terjadi di dunia sekolah. Apalagi akhir-akhir ini muncul beberapa berita nestapa kematian seorang anak karena depresi akibat bullying.

Betapa miris jika melihat kenyataan bahwa seharusnya sekolah menjadi tempat yang aman untuk anak-anak, justru menjadi ‘neraka’ bagi mereka. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, mengungkapkan fakta mengejutkan.

Baca Juga

Terhitung dari Januari-Juli 2022, tercatat ada 12 kasus kekerasan seksual. Tiga kasus (25 persen) terjadi di sekolah dalam wilayah kewenangan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Sementara sembilan kasus (75 persen) terjadi di lembaga pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama RI.

Catatan itu merupakan hasil pemantauan KPAI di media massa, berdasarkan kasus yang keluarga korban sudah melaporkannya ke pihak kepolisian. Ia meyakini, lemahnya sistem pengawasan dan pengaduan, membuat pelaku memiliki kesempatan untuk melakukan tindakan bullying kepada anak-anak yang tak berdaya.

“Sebagai contoh di lingkungan pendidikan, terutama lembaga pendidikan yang menerapkan sistem asrama. Lembaga pendidikan yang menerapkan sistem asrama menjadi 'lahan basah' bagi mereka untuk melancarkan aksinya,” kata Retno dalam seminar parenting bertajuk ‘Edukasi Seksual yang Tepat untuk si Kecil’, yang diadakan Generos, Sabtu (23/7/2022).

Di sekolah dengan asrama, biasanya siswanya dilarang membawa ponsel dan juga pergi keluar asrama jika belum ada hari libur. Dengan demikian, anak tidak dapat terkoneksi dengan orang tuanya maupun dunia luar.

Sehingga ia akan kesulitan speak up jika ia mendapatkan bullying. Tidak hanya itu, biasanya mereka takut karena mendapatkan ancaman dari pelaku, yang bahkan dilakukan oleh petinggi dari lembaga pendidikan itu sendiri.

Untuk korban kekerasan seksual, itu tidak mendapatkan advokasi untuk mengatasi traumanya. Terlebih bagi mereka yang berada di daerah dengan kondisi keuangan orang tua yang pas-pasan.

Para orang tua itu tidak punya uang untuk berkonsultasi ke psikolog, yang membutuhkan biaya tidak sedikit. Jauh sebelum itu, untuk mencegah agar kasus ini tidak semakin meluas, dibutuhkan banyak pihak yang bergerak.

Salah satunya pemerintah dengan memberikan regulasi dan pengawasan yang ketat terhadap lembaga sekolah. Selain itu, penting juga bagi orang tua memberikan edukasi seksual kepada anak-anaknya sejak dini.

“Makanya penting untuk mengajarkan kepada anak, misalnya tidak membuka baju di depan orang lain meskipun itu pamannya sendiri. Lalu juga ajarkan untuk selalu menutup kamar mandi ketika buang air kecil maupun buang air besar,” kata Retno.

Ia juga menyarankan agar terdapat minimal satu psikolog klinis di setiap Puskesmas. Jika sudah ada psikolog klinis di Puskesmas, maka korban-korban yang berada di daerah juga dapat terjangkau.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement