REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam wacana yang dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan soal revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Salah satu poinnya demi mengatur penempatan tentara di jabatan-jabatan kementerian.
Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, menilai usulan ini sangat problematis. Usulan ini dianggap KontraS kontraproduktif terhadap semangat profesionalisme militer yang mengamanatkan agar TNI fokus pada tugas pertahanan sebagaimana perintah konstitusi.
"Ditempatkannya TNI pada kementerian atau jabatan sipil lainnya menunjukkan bahwa agenda pengembalian nilai orde baru semakin terang-terangan dilakukan," kata Fatia dalam keterangannya, Senin (8/8/2022).
KontraS memandang upaya penempatan TNI pada jabatan sipil menunjukan kegagalan manajerial dalam mengidentifikasi masalah di tubuh institusi. KontraS mengamati selama bertahun-tahun TNI terjebak dalam wacana penempatan perwira aktif di berbagai jabatan sipil.
Hal tersebut terus dilakukan sebagai jalan pintas untuk menyelesaikan berbagai masalah institusi seperti halnya menumpuknya jumlah perwira non-job. "Alih-alih melakukan evaluasi mendalam dan menyasar pada akar masalah, wacana untuk membuka keran dwifungsi TNI terus diproduksi," ujar Fatia.
KontraS mengkhawatirkan diperkenankannya TNI menempati jabatan sipil, salah satunya di kementerian akan menciptakan ketidakprofesionalan khususnya dalam penentuan jabatan. Sebab, mekanisme bukan lagi berfokus pada kualitas seseorang dalam kerangka sistem merit, melainkan berdasarkan kedekatan atau power yang dimiliki.
"Belum lagi beberapa menteri yang menghuni kabinet Presiden Joko Widodo memiliki latar belakang militer, sehingga akan berpotensi besar melahirkan konflik kepentingan," tegas Fatia.
Lebih jauh, KontraS melihat terdapat sejumlah permasalahan manajerial yang terjadi di tubuh TNI sejak 2019. Yakni, saat Panglima sebelumnya Marsekal Hadi Tjahjanto mengungkap terdapat 500 perwira TNI tidak dalam tugas. Sayangnya, langkah atau solusi yang ditawarkan selalu menempatkan TNI pada jabatan sipil.
"Kuat dugaan bahwa pada praktiknya hanya berujung pada bagi-bagi jabatan, tanpa memperhatikan kebutuhan," sebut Fatia.
Di sisi lain, KontraS menemukan membludaknya prajurit non-job justru disertai dengan bertambah besarnya jumlah pasukan TNI khususnya Angkatan Darat (AD). KontraS mengkhawatirkan seleksi besar-besaran tanpa pernah dibarengi oleh audit penerimaan hanya menambah rumit persoalan.
Sebab seiring berjalannya waktu jumlah jabatan akan terus mengerucut, sementara jumlah perwira tak berkurang. Hal ini pada akhirnya membuat posisi yang tersedia tidak akan cukup mengakomodir seluruh jumlah TNI aktif. "Belum lagi permasalahan vetting mechanism yang menjadi ukuran jenjang kenaikan pangkat sampai saat ini belum jelas," ucap Fatia.
Adapun penempatan TNI pada berbagai jabatan sipil, lanjut KontraS justru semakin menghambat tercapainya agenda reformasi sektor keamanan. KontraS menilai pemerintah seharusnya dapat memperbaiki penerimaan anggota TNI dan memperbaiki struktur pos kemiliteran dibanding menempatkan pada posisi sipil tertentu.
"Atas dasar tersebut KontraS mendesak, pertama, Presiden untuk menegur dan menertibkan pejabat yang terus mengeluarkan pernyataan untuk mengembalikan dwifungsi TNI. Kedua, pejabat dalam pemerintahan untuk menghentikan segala bentuk upaya mengembalikan jabatan TNI di ranah sipil. Ketiga, TNI untuk tetap profesional dan fokus pada tugasnya sebagaimana diamanatkan konstitusi dan UU TNI," tegas Fatia.