REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah
Mutasi varian Covid-19 masih terus terjadi. Selain Omicron BA.4 dan BA.5, kini muncul lagi subvarian Omicron BA.4.6 yang disebut lebih menular dibandingkan varian lainnya. Laporan Centres for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat menyebutkan, 4,1 persen kasus Covid-19 di negara itu mendeteksi subvarian baru Omicron BA.4.6 hingga 30 Juli 2022.
Meski angka kasus nasional di Amerika terhitung 4,1 persen tetapi di empat negara bagian Amerika yaitu Iowa, Kansas, Missouri, dan Nebraska angkanya mencapai 10,7 persen. Bahkan BA.4.6 sudah dilaporkan ada di 43 negara, dan diperkirakan sudah ada sejak beberapa pekan yang lalu.
Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, gejala dari subvarian Omicron ini hampir serupa dan lebih dominan di saluran napas atas. Jika terpapar, gejala didominasi dengan gatal di tenggorokan dan flu.
"Memang varian ini untuk menyerang paru berkurang saat ini, tapi bukan tidak ada ya. Bisa fatal juga. Tapi lebih berkurang dari Delta," ujar Dicky kepada Republika, Rabu (10/8/2022).
Bahkan, sebagian besar yang terinfeksi BA.4.6 adalah mereka yang pernah terinfeksi atau yang memiliki kekebalan dari vaksinasi. Sehingga, saat ini tidak bisa hanya dengan mengandalkan vaksin ataupun pernah terinfeksi.
"Tetap vaksin punya peran agar tidak terjadi keparahan lebih. Namun, pesan pentingnya tidak bisa andalkan vaksin dan terinfeksi, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), 5 M dan 3T itu yang harus tetap dilakukan selama masih pandemi," tegas Dicky.
Dicky menambahkan, bila melihat progres peningkatan subvarian ini bahkan sudah mencapai 25 persen per pekan di Australia dan AS. Meskipun sebarannya masih di bawah subvarian BA.4 dan BA.5, namun tidak menutup kemungkinan subarian BA.4.6 akan mendominasi di kemudian hari.
"BA.4.6 ini trennya bisa menginfeksi dan reinfeksi ini membuat potensi mendominasi dengan kemampuannya terus bertambah artinya punya kemampuan," kata dia.
Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI sekaligus Guru Besar FKUI, Prof Tjandra Yoga Aditama menjelaskan berdasarkan laporan yang ada, sudah ada setidaknya 5.681 sampel BA.4.6 dalam tiga bulan terakhir ini. "Dan ini juga sudah dimasukkan dalam database dari GISAID (Global Initiative on Sharing Avian Influenza Data) yang sudah kita kenal luas," ujar Tjandra kepada Republika, Rabu (10/8/2022).
Kemudian, informasi yang dikutip dari dari The Centre for Medical Genomics at di Rumah Sakit Ramathibodi Thailand menyebutkan BA.4.6 lebih mudah menular hingga 15 persen lebih tinggi daripada BA.5 di dunia secara umum. Bahkan, BA.4.6 juga nampaknya dapat sampai 28 persen lebih mudah menular daripada BA.5 di Asia.
"BA.4.6 juga 12 persen lebih mudah menular dibanding BA.2.75 di dunia secara umum, dan bahkan dapat sampai 53 persen lebih mudah menular dari BA.2.75 di Asia," ungkap Tjandra.
Selain itu, subvarian BA.4.6 secara genomik agak mirip dengan BA.4.6. Perbedaannya adalah pada mutasi Spike atau tonjolan R346T.
Secara umum, lanjut Tjandra, belum ada bukti bahwa BA.4.6 akan menimbulkan penyakit lebih berat, atau apakah dapat menghindar dari imunitas, atau apakah resisten terhadap vaksin. Oleh karenanya ia meminta masyarakat untuk tidak terlalu khawatir.
"Tentu kita tidak perlu kawatir berlebihan dengan kembali adanya subvarian baru ini, karena varian/subvarian baru memang mungkin akan ada dari waktu ke waktu. Tetapi, perkembangan ini juga tidak boleh dianggap remeh. Perlu diperiksa dengan amat cermat tentang kemungkinan ada tidaknya BA.4.6 di negara kita, apalagi di tengah kenaikan kasus sekarang ini," tutur Tjandra.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI, dr Mohammad Syahril memastikan hingga kini varia BA.4.6 belum terdeteksi di Indonesia. Namun, ia tetap meminta masyarakat untuk selalu waspada.
"Yang ini (BA.4.6) belum ada, belum itu. BA.4 dan BA.5 yang sudah ada saat ini. Kemudian BA.25," ujar Syahril, hari ini.