REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amerika Serikat (AS) saat ini menghadapi tantangan baru dalam penyebaran Covid-19, yaitu varian baru yang disebut HV.1. Menurut perkiraan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), varian HV.1 sekarang mencakup sekitar seperempat dari semua kasus Covid-19 di negara tersebut, terutama tersebar di wilayah Atlantik Tengah, di mana sekitar sepertiga kasusnya terjadi.
Dominasi varian HV.1 terjadi ketika vaksin Covid-19 yang baru diformulasikan mulai diberikan oleh penyedia layanan kesehatan. Sayangnya, tingkat penerimaan vaksin terbaru masih rendah. Baru sekitar 7,1 persen orang dewasa dan 2,1 persen anak-anak yang telah menerima dosis vaksin sejak tersedia pada pertengahan September.
Seorang profesor penyakit menular di Vanderbilt University School of Medicine, William Schaffner mengungkapkan keprihatinan atas lambatnya penggunaan vaksin yang dapat meningkatkan risiko kasus-kasus Covid-19 yang parah dalam beberapa bulan mendatang. "Kurangnya penerimaan secara umum terhadap vaksin baru yang diperbarui ini, ditambah varian-varian baru yang sangat mudah menular mungkin terjadi pada musim dingin ini," kata Schaffner, dilansir Verywell Health, Jumat (3/11/2023).
Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah HV.1 lebih berbahaya dibandingkan dengan varian Covid lainnya. Biasanya, varian yang mendominasi merupakan varian yang telah berevolusi menjadi lebih mudah menular. Meskipun HV.1 tampak sangat menular, dampak klinisnya belum terlihat signifikan. Para ahli imunologi memastikan bahwa vaksin yang sudah ada masih memberikan perlindungan yang substansial terhadap penyakit parah.