Kamis 18 Aug 2022 19:15 WIB

China: Tak Pernah Ada Kerja Paksa di Xinjiang

China kembali membantah laporan tentang adanya kerja paksa di Xinjiang.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Seorang pekerja mengisi bibit kapas pada mesin penebar bibit di areal perkebunan kapas di Prefektur Changji, Daerah Otonomi Xinjiang, China, Rabu (21/4/2021). Xinjiang diguncang isu kerja paksa terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di perkebunan kapas, namun dibantah karena semua proses dikerjakan dengan mesin.
Foto: ANTARA/M. Irfan Ilmie
Seorang pekerja mengisi bibit kapas pada mesin penebar bibit di areal perkebunan kapas di Prefektur Changji, Daerah Otonomi Xinjiang, China, Rabu (21/4/2021). Xinjiang diguncang isu kerja paksa terhadap etnis minoritas Muslim Uighur di perkebunan kapas, namun dibantah karena semua proses dikerjakan dengan mesin.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Pemerintah China kembali membantah laporan tentang adanya kerja paksa di Xinjiang. Bantahan itu muncul setelah pelapor khusus PBB mempublikasikan laporan yang menyebut kerja paksa telah terjadi atau berlangsung di Xinjiang.

“Tidak pernah ada kerja paksa di Xinjiang. Pemerintah China mengikuti filosofi pembangunan yang berpusat pada rakyat dan sangat mementingkan perlindungan hak serta kepentingan pekerja. Kami melindungi persamaan hak pekerja dari semua kelompok etnis untuk mencari pekerjaan, untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi dan sosial, serta untuk berbagi dividen dari kemajuan sosial ekonomi,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) China Wang Wenbin menanggapi pertanyaan tentang laporan pelapor khusus PBB, Rabu (17/8), dikutip laman resmi Kemenlu China.

Wang mengatakan, beberapa pihak yang memiliki kekuatan telah memanipulasi isu terkait Xinjiang, termasuk mengarang disinformasi tentang kerja paksa di wilayah tersebut. “Intinya, mereka menggunakan hak asasi manusia (HAM) sebagai dalih untuk merusak kemakmuran dan stabilitas Xinjiang serta menahan pembangunan dan revitalisasi China. Skema mereka tidak akan pernah berhasil,” ucapnya.

“Pelapor khusus tertentu memilih percaya pada kebohongan dan disinformasi tentang Xinjiang yang disebarkan oleh Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara Barat lainnya serta pasukan anti-China, menyalahgunakan wewenangnya, secara terang-terangan melanggar kode etik prosedur khusus, memfitnah dan merendahkan China serta berfungsi sebagai alat politik untuk kekuatan anti-China. China mengutuk keras hal ini,” kata Wang menambahkan.

Laporan terkait kerja paksa di Xinjiang disusun dan ditulis oleh Tomoya Obokata, pelapor khusus PBB tentang bentuk-bentuk perbudakan kontemporer. Dalam laporannya, Obokata mengungkapkan, China menerapkan dua sistem yang diamanatkan negara untuk membuat penduduk Xinjiang menjadi pekerja paksa. Sistem pertama yakni lewat pusat pendidikan vokasi. Di pusat itu, etnis-etnis minoritas, termasuk Uighur, ditahan dan menjadi sasaran penempatan kerja. Sistem kedua yakni metode pengentasan kemiskinan melalui transfer tenaga kerja. Kelebihan jumlah pekerja di pedesaan dialihkan ke sektor sekunder dan tersier.

“Mengingat sifat dan tingkat kekuasaan yang dijalankan atas pekerja yang terkena dampak selama kerja paksa, termasuk pengawasan berlebihan, kondisi hidup dan kerja yang kejam, pembatasan pergerakan melalui interniran, ancaman, kekerasan fisik dan/atau seksual serta perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan lainnya, beberapa beberapa kasus dapat menjadi perbudakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, yang memerlukan analisis independen lebih lanjut,” kata Obokata dalam laporannya yang dirilis Selasa (16/7) lalu.

Menurut laporan Obokata, sistem kerja paksa seperti di Xinjiang turut diterapkan di Tibet. “Program transfer tenaga kerja yang ekstensif telah menggeser sebagian besar petani, penggembala, dan pekerja pedesaan lainnya ke pekerjaan berketerampilan rendah serta bergaji rendah,” katanya.

China telah konsisten membantah laporan yang menyebut ada pelanggaran HAM sistematis di Xinjiang, termasuk penahanan lebih dari satu juta masyarakat Uighur. Namun Beijing tak menampik tentang adanya pusat-pusat pendidikan vokasi di sana.

Beijing mengklaim, pusat itu sengaja didirikan untuk memberi pelatihan keterampilan dan keahlian kepada warga Uighur dan etnis minoritas lainnya. Dengan demikian, mereka dapat bekerja dan angka pengangguran di Xinjiang dapat berkurang.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement