REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Peningkatan bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional sudah menjadi amanat undang-undang. Oleh karena itu promosi bahasa Indonesiapun terus digencarkan di berbagai negara termasuk di Australia. Namun begitu, selama 20 tahun terakhir ini terjadi penurunan minat siswa Australia untuk belajar bahasa Indonesia. Dari sekira 24 universitas yang memilki Program Studi (Prodi) Bahasa Indonesia di tahun 90-an, kini hanya tinggal 14 universitas yang masih memiliki Prodi Bahasa Indonesia.
Guna menguatkan kembali pelajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah maupun universitas Australia, perlu dicarikan solusi bersama yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Untuk itu, Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI Canberra mengumpulkan diaspora ilmuwan Indonesia yang bekerja di universitas dan lembaga penelitian di Canberra pada Senin (22/8/2022).
Menurut Atdikbud, Mukhamad Najib, pertemuan diaspora ilmuwan Indonesia di Canberra ini bertujuan untuk silaturahim sekaligus mendiskusikan akar masalah dari penurunan minat belajar bahasa Indonesia di Australia. Selanjutnya dirumuskan bagaimana para ilmuwan Indonesia di Australia bisa berkontribusi dalam penguatan internasionalisasi bahasa Indonesia.
“Kita memiliki diaspora ilmuwan yang sangat potensial bukan hanya untuk mendekatkan universitas di Australia dan Indonesia, tapi juga untuk mempromosikan bahasa Indonesia. Banyak orang Australia yang ingin meneliti Indonesia, tentu hal ini akan lebih baik jika mereka bisa berbahasa Indonesia. Jadi minat belajar bahasa Indonesia bisa datang dari minat tentang Indonesia”, jelas Najib dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (22/8/2022).
Saat ini juga, menurut Atdikbud Najib, pemerintah Australia sudah mengaktifkan kembali program New Colombo Plan (NCP). Program ini mendorong mahasiswa Australia untuk belajar di negara-negara Asia pacific, termasuk Indonesia.
“Tahun ini ada 140 mahasiswa Monash University akan berkunjung ke Indonesia dengan program NCP. Tentu di antara mereka akan ada yang tertarik belajar lebih jauh mengenai bahasa Indonesia setelah mengunjungi Indonesia secara langsung. Diaspora ilmuwan Indonesia yang bekerja sebagai dosen di universitas Australia bisa turut mempromosikan dan mengarahkan mahasiswanya untuk mengikuti program NCP ke Indonesia”, tutur Najib.
Acara yang berlangsung di Wisma Duta Indonesia ini dibuka oleh Duta Besar Indonesia untuk Australia dan Vanuatu, Siswo Pramono. Dalam sambutannya Dubes Siswo menekankan pentingnya kreativitas baru dalam mempromosikan bahasa Indonesia di kalangan anak-anak muda Australia. Menurut Siswo, dalam konteks internasionalisasi bahasa, Indonesia tidak bisa meniru Inggris atau Prancis. Negara-negara imperialis dahulu menyebarkan bahasanya dengan penjajahan di mana hal ini tidak mungkin dilakukan pada zaman sekarang.
“Kita bisa meniru Korea, Jepang atau China, tanpa melakukan penjajahan fisik terlebih dahulu tapi banyak anak muda ingin belajar bahasa Korea, Jepang atau China. Korea mendistribusikan budaya yang menarik bagi anak muda di seluruh dunia, sehingga dengan suka rela anak-anak muda mau belajar bahasa Korea. Indonesia tentu juga bisa melakukan hal yang sama. Tinggal dicari kreativitas apa lagi yang bisa menarik siswa-siswa Australia untuk belajar bahasa Indonesia”, tutur Siswo.
Menurut Amrih Widodo, salah seorang diaspora yang lama mengajar di Australian National University (ANU), banyak hal yang menyebabkan minat terharap bahasa Indonesia di Australia menurun. Salah satunya sejak terjadinya bom Bali yang banyak menewaskan warga Australia. Orang-orang tua di Australia saat itu banyak yang melarang anaknya belajar bahasa Indonesia.
“Jumlah pembelajar bahasa Indonesia turun drastis sejak terjadinya bom Bali. Siswa-siswa tidak bisa melakukan studi tour ke Indonesia. Kalaupun mereka minat ke Indonesia, pemerintah tidak membolehkan. Padahal siswa yang pernah ke Indonesia umumnya tertarik untuk belajar bahasa Indonesia”, jelas Amrih.
I Wayan Arka, professor dibidang linguistik dari ANU mengungkapkan bahwa ada variabel yang bersifat eksternal yang tidak dapat dikendalikan. Persepsi masyarakat Australia yang memburuk sejak adanya bom Bali, menurut Wayan berada di luar kekuasaan para diaspora. Namun ada hal yang diaspora ilmuwan dapat lakukan, seperti memberikan masukan kebijakan kepada pemerintah baik Australia maupun Indonesia untuk penguatan bahasa Indonesia.
“Karena internasionalisasi bahasa Indonesia adalah mandate dari undang-undang, maka tentu harus disiapkan sumber daya pendukungnya. Misalnya Badan Bahasa di Kemdikbud, apa yang bisa diberikan untuk mendorong internasionalisasi bahasa Indonesia? Sebagai contoh, pemerintah China dan Jepang di sini memberikan dukungan pengembangan bahasa China dan Jepang dengan mengirimkan guru,” urai Arka.
Pertemuan yang dihadiri oleh tidak kurang dari 30 ilmuwan Indonesia di Canberra ini dihadiri pula oleh presiden Indonesian Academics and Researchers Network Australia (IARNA), Prof Akbar Ramdhani dan Kordinator Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) untuk Australia dan New Zealand, Sitti Maesuri Patahudin PhD. Acara diakhiri dengan makan malam dan diskusi santai. Para diaspora umumnya menyampaikan komitmennya untuk terus mengenalkan Indonesia dan bahasa Indonesia kepada masyarakat Australia, khususnya para mahasiswa dan peneliti di kampus.