REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Mantan presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa telah kembali ke Sri Lanka setelah tujuh minggu melakukan pelarian. Dia melarikan diri dari negara itu pada pada Juli setelah puluhan ribu pengunjuk rasa menyerbu rumah dan kantornya dalam kemarahan atas krisis ekonomi.
Rajapaksa terbang ke bandara internasional Bandaranaike Kolombo dari Bangkok melalui Singapura sekitar Jumat (2/9) tengah malam.
Saat disambut oleh anggota parlemen di partainya, Rajapaksa meninggalkan bandara dengan iring-iringan mobil yang dijaga ketat oleh tentara bersenjata dan mencapai rumah milik pemerintah yang dialokasikan untuknya sebagai mantan presiden di pusat ibukota, Kolombo.
Pada 13 Juli, pemimpin yang digulingkan, istri, dan dua pengawalnya berangkat dengan pesawat angkatan udara ke Maladewa. Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke Singapura dan mengumumkan secara resmi mengundurkan diri. Kemudian dia kembali terbang ke Thailand dua minggu kemudian.
Rajapaksa tidak berhadapan dengan pengadilan atau surat perintah penangkapan yang tertunda terhadapnya. Satu-satunya kasus pengadilan yang dihadapi karena dugaan korupsi selama menjabat sebagai sekretaris kementerian pertahanan di bawah kepresidenan kakak laki-lakinya. Tuntutan ini juga telah ditarik ketika terpilih sebagai presiden pada 2019 karena kekebalan konstitusional.
Selama berbulan-bulan, Sri Lanka berada dalam cengkeraman krisis ekonomi terburuk yang memicu protes luar biasa dan kemarahan publik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Peristiwa ini pada akhirnya memaksa Rajapaksa dan saudaranya, mantan perdana menteri, untuk mundur.
Situasi di negara yang bangkrut itu diperparah oleh faktor-faktor global seperti pandemi dan invasi Rusia ke Ukraina. Namun banyak yang menganggap keluarga Rajapaksa yang dulu menguasai pemerintahan bertanggung jawab atas salah urus ekonomi dan menjerumuskannya ke dalam krisis.
Negara kepulauan itu telah menangguhkan pembayaran utang luar negeri hampir 7 miliar dolar AS yang jatuh tempo tahun ini. Total utang luar negeri negara itu berjumlah lebih dari 51 miliar dolar AS, dengan 28 miliar dolar AS harus dilunasi pada 2027.