REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah telah memutuskan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi per Sabtu (3/9) kemarin. Keputusan pemerintah ini memicu penolakan dari berbagai elemen masyarakat.
Rencananya, Partai Buruh dan organisasi Serikat Buruh pun akan kembali menggelar demonstrasi penolakan secara besar-besaran terhadap kenaikan harga BBM. Menanggapi hal ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar aksi demonstrasi tersebut dilakukan dengan cara-cara yang baik.
“Ya ini kan negara demokrasi. Sampaikan dengan cara-cara yang baik,” ujar Jokowi di Sarinah, Jakarta, Senin (5/9) petang.
Sebelumnya, dalam siaran pers yang diterima, Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyampaikan, puluhan ribu buruh akan menyampaikan aksi demontrasi pada 6 September. "Partai Buruh dan Serikat Buruh akan melakukan aksi puluhan ribu buruh pada tanggal 6 September 2022," kata dia, Ahad (4/9).
Said mengatakan, untuk di Jakarta, aksi akan dipusatkan di Gedung DPR RI. Demonstrasi itu membawa tuntutan agar Pimpinan DPR RI memanggil Menko Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri ESDM, dan para menteri yang terkait dengan kebijakan perekonomian.
"Pimpinan DPR dan Komisi terkait ESDM DPR RI harus berani membentuk Pansus atau Panja BBM," ungkap Said.
Selain di Gedung Parlemen, lanjut Said, massa buruh juga melakukan aksi serentak di 33 provinsi lainnya. Aksi dipusatkan di kantor gubernur masing-masing. "Bilamana aksi 6 September tidak didengar pemerintah dan DPR, maka Partai Buruh dan KSPI akan mengorganisir aksi lanjut dengan mengusung isu; tolak kenaikan harga BBM, tolak omnibus law, dan naikkan upah tahun 2023 sebesar 10-13 persen," ujarnya.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi sebelumnya telah mengumumkan kenaikan harga BBM pada Sabtu (3/9). Harga Pertalite naik dari Rp 7.650 menjadi Rp 10.000/liter. Kemudian harga solar subsidi naik dari Rp 5.150 jadi Rp 6.800/liter. Pertamax juga ikut naik dari Rp 12.500 jadi Rp 14.500/liter.
Said Iqbal menjelaskan, terdapat sedikitnya dua alasan mengapa Partai Buruh dan elemen buruh lainnya menolak kenaikan harga BBM. Pertama, kenaikan BBM tersebut akan menurunkan daya beli kelas pekerja hingga 50 persen. Sebab, saat ini saja daya beli buruh sudah turun 30 persen karena inflasi.
Di sisi lain, lanjut dia, upah buruh tidak naik dalam tiga tahun terakhir. Bahkan Menteri Ketenagakerjaan sudah mengumumkan bahwa pemerintah dalam menghitung kenaikan UMK 2023 kembali menggunakan PP 36/2021. "Dengan kata lain, diduga tahun depan upah buruh tidak akan naik lagi," katanya.
Alasan kedua, kata Said, adalah kenaikan harga BBM dilakukan di tengah turunnya harga minyak dunia. Karena itu, dia menilai pemerintah hanya mencari untung di tengah kesulitan rakyat. "Kenaikan ini dilakukan di tengah negara lain menurunkan harga BBM. Seperti di Malaysia, dengan Ron yang lebih tinggi dari pertalite, harganya jauh lebih murah," katanya.