REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Astronomi selalu mendapat tempat khusus dalam pendidikan Islam. Alquran memiliki lebih dari 1.100 ayat yang menyentuh tentang penciptaan alam semesta, penyelarasan bintang-bintang dan ide-ide lain yang kemudian terbukti benar berdasarkan penyelidikan ilmiah.
Dilansir di TRT World, pengamatan astronomis di zaman keemasan Islam, sementara sebagian besar diabaikan oleh dunia Barat, mencapai jauh melampaui apa yang banyak sarjana sepanjang sejarah telah berikan penghargaan. Karena matematika merupakan bagian integral dari astronomi, para sarjana Islam dengan pemahaman yang kuat tentang trigonometri bola dan aljabar mampu unggul dalam ilmu benda langit.
Lahir pada pertengahan abad kesembilan di Harran (38 Km tenggara Provinsi Urfa Turki), yang dikenal oleh orang Romawi sebagai Carrhae, Abu Abdallah Mohammad ibn Jabir ibn Sinan al Raqqi al Harrani al Sabi al Battani, juga dikenal sebagai Al Battani, terkenal di kalangan astronom Eropa di abad-abad berikutnya dan bahkan dijuluki "Ptolemy orang Arab."
Keluarga Al Battani adalah anggota sekte Sabian, yakni sekte pemuja bintang yang berasal dari kampung halamannya. Meskipun Al Battani adalah seorang Muslim dan tidak mengikuti agama Sabian, ia memanfaatkan pengetahuan sekte Sabian, yang telah menghasilkan banyak astronom dan matematikawan terkemuka berkat keinginan para pengikutnya untuk mengabdi pada agama mereka.
Selain aksesnya ke kebijaksanaan Sabian, Al Battani adalah murid ayahnya, Jabir ibn Sinan al Harrani, pembuat instrumen ilmiah terkenal di masyarakat Sabian yang membuka jalan bagi terobosan astronominya.
Perkiraannya yang sangat akurat tentang panjang tahun dan inovasi aslinya dalam memajukan dan mencerahkan ilmu astronomi melalui perhitungan trigonometri dicapai pada waktu sebelum peralatan astronomi modern, apalagi teleskop. Kemajuan ini membuatnya dikenal sebagai salah satu astronom terbesar sepanjang masa.