REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti keberadaan sampah plastik di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Wakil Ketua Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Anggia Ermarini mengatakan diperlukan kebijakan yang diperlukan untuk mengatur agar sampah plastik dari galon sekali pakai tidak semakin membanjiri lingkungan.
"Bagaimana sampah plastik ini atau galon dalam hal ini diatur supaya tidak dibanjiri, galon terus menerus. Sekuat apapun atau sedikit apapun hilirnya kalau hulunya gak ada aturan, tentu lingkungan pasti akan terancam dan ini bahaya," ujarnya kepada wartawan, Kamis (8/9/2022).
Dia juga prihatin atas beredarnya iklan-iklan penggunaan air minum dalam kemasan yang berasal dari galon sekali pakai. "Itu kan mengerikan, banyak data yang menunjukan itu setiap hari, berapa galon atau sampah plastik minuman ada berapa banyak itu. Itu merusak dan seharusnya dipikirkan dua kali lah harus dievaluasi, dilihat dulu plus minusnya seperti apa," katanya.
Tak hanya itu, pihaknya juga meminta Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) tidak terburu-buru untuk membuat aturan tentang pelabelan BPA free galon isi ulang. Hal ini karena tidak ada urgensinya bagi rakyat. BPA adalah Bisphenol A yang merupakan bahan kimia digunakan dalam pembuatan plastik polikarbonat. Bahan ini biasa digunakan untuk kemasan makanan yang terbuat dari plastik.
Anggota Komisi IX DPR Rahmad Handoyo mengatakan BPOM harus melakukan penelitian komprehensif di dalam negeri yang dengan melibatkan stakeholder sebanyak mungkin baik yang pro maupun yang kontra terhadap isu ini. “Penelitian ini diperlukan karena persoalan pelabelan BPA bukan hanya berdampak pada industri dan bisnis tetapi juga persoalan lingkungan berupa peningkatan sampah plastik,” ujarnya.
Dia mengapresiasi upaya BPOM untuk melindungi kesehatan masyarakat karena BPOM serta mengurusi hal tersebut. Namun, menurutnya, BPOM harus melakukan penelitian yang komprehensif di dalam negeri.
Tak hanya melibatkan peneliti yang pro dengan pendapat BPOM, tetapi peneliti yang tidak sependapat dengan BPOM juga harus dilibatkan. "Sebaiknya bukan hanya penelitian di luar negeri yang digunakan, tetapi juga penelitian di dalam negeri. Dokter harus dilibatkan, akademisi, NGO, dan stakeholder lainnya. Jangan serta merta. Kalau memang (BPA) ada kaitan langsung dengan penyakit maka aturan itu silakan dibikin, tapi kalau gak ada kaitan ya jangan atau dikait-kaitkan," katanya.
Menurutnya, penelitian yang komprehensif dibutuhkan karena kebijakan ini akan berdampak pada sektor industri dan bisnis. "Sekali lagi, harus bikin penelitian di Indonesia. Silakan duduk bersama kembali, libatkan IDI, asosiasi, dokter, peneliti, ahli kimia, kalangan industri. Benar atau tidak ada masalah. Kalau tidak ada masalah ya jangan diatur, kasihan industri," ucapnya.
Dia menjelaskan, sebuah kebijakan tidak harus dipaksakan jika tidak sesuai dengan kondisi di dalam negeri. Dia mencontohkan sikap Presiden Joko Widodo yang beberapa kali tidak memaksakan kehendak ketika rencana aturan yang akan dibuat menimbulkan pro dan kontra yang meluas di kalangan masyarakat.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena menambahkan saat ini persoalan tersebut belum dibahas oleh komisi. "Ini belum dibahas di komisi. Masih pro dan kontra," katanya.