Kamis 15 Sep 2022 05:50 WIB

Epidemiolog: Masuk Melalui Mulut, Virus Polio Bisa Sampai ke Aliran Darah

Epidemiolog ingatkan penemuan satu kasus lumpuh polio jadi indikator KLB

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Seorang anak balita mendapatkan vaksin polio saat pencanangan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) 2022 di UPTD Puskesmas Sindangkasih, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, penemuan satu kasus lumpuh polio sudah menjadi indikator serius serta menjadi dasar penetapan KLB (Kejadian Luar Biasa).
Foto: ANTARA/Adeng Bustomi
Seorang anak balita mendapatkan vaksin polio saat pencanangan Bulan Imunisasi Anak Nasional (BIAN) 2022 di UPTD Puskesmas Sindangkasih, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, penemuan satu kasus lumpuh polio sudah menjadi indikator serius serta menjadi dasar penetapan KLB (Kejadian Luar Biasa).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, penemuan satu kasus lumpuh polio sudah menjadi indikator serius serta menjadi dasar penetapan KLB (Kejadian Luar Biasa).

"Bicara polio satu saja kasus ada itu menjadi indikator darurat polio," terang Dicky dalam keterangannya kepada Republika, Rabu (14/9/2022).

"Karena keseriusan polio tidak bisa dibandingkan dengan aspek lainnya. Dampak dari polio itu tidak bisa kembali lagi. Artinya ada banyak kasus di balik itu yang asimptomatik, tak bergejala. Banyak yang tak merasakan apa-apa,” sambung Dicky.

Dicky menerangkan, virus polio dapat masuk ke tubuh atau menginfeksi seseorang itu melalui mulut. Lalu virus tersebut turun dari tenggorokan dan ke saluran usus atau saluran pencernaan dan virus itu menginfeksi saluran cerna serta berkembang biak di sana.

“Nah pada beberapa kasus, si virus ini bisa masuk aliran darah dan menginfeksi sistem saraf pusat. Itu yang akhirnya membuat otot lemah ataupun bahkan terjadi paralisis atau kelumpuhan,” jelas dia.

Menurut Dicky, penyakit-penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi atau vaksinasi akibat masa pandemi COVID-19, ini akan dapat muncul kembali. Di mana jika tidak segera dimitigasi dengan pemberian penguatan imunisasi dasar, ini akan menjadi potensi bencana kesehatan tambahan bagi Indonesia.

“Kita harus segera bergerak,” tegas dia.

Oleh karenanya, Indonesia harus tetap waspada dengan kasus polio lantaran banyak daerah yang masih dalam kategori berisiko tinggi. "Jadi terkait polio, ini harus menjadi pengingat serius dan harus direspons juga sangat serius karena ancamannya nyata untuk Indonesia,” kata dia.

“Sebagai tambahan, terkait polio ini, oleh WHO bahkan di awal pandemi (Covid-19) 2020 sudah dimasukkan dalam kategori yang berisiko tinggi ya Indonesia. Karena hampir 50 persen kabupaten/kota dalam risiko tinggi, karena cakupan dari imuninasi dasar yang rendah,” sambungnya.

Menurut WHO ada 23 provinsi di Indonesia yang dinyatakan berisiko tinggi ditemukannya kasus polio. Oleh karena itu, pemerintah harus segera merespons hal ini dengan peningkatan imunisasi dasar, misalnya dengan menggelar pekan imunisasi nasional.

"Kita sebenarnya sudah melakukan imunisasi nasional polio berkali-kali ya, tapi tetap kurang saja. Karena thresholdnya untuk terjadinya herd immunity untuk polio, itu harus 95 persen dari total khususnya populasi,” jelas dia.

Setidaknya, lanjut Dicky, Indonesia memperoleh threshold sebanyak 90 persen dari total populasi. Termasuk, anak-anak yang perlu diberikan imuninasi dasar lengkap dan mendapatkan vaksin polio sebanyak empat kali.

“Nah ini yang harus betul-betul dikejar, karena itu berbahaya ya kalau tidak dikejar,” ucap dia.

Sebelumnya, Ketua Tim Kerja Imunisasi Tambahan dan Khusus Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Gertrudis Tandy mengungkapkan, capaian imunisasi global menurun dari 86 persen pada 2019 menjadi 83 persen pada 2020. Data di Indonesia menunjukkan penurunan signifikan dalam capaian imunisasi anak saat COVID-19 mulai melanda.

Bahkan, dalam periode 2019 hingga 2021, Indonesia mencatat sebanyak 1,7 juta bayi yang tidak mendapatkan imunisasi lengkap. Kemudian, pada tahun 2020, ada 23 juta anak di dunia tidak mendapatkan imunisasi lengkap.

"Jumlah ini tertinggi sejak tahun 2009," kata Gertrudis dalam seminar daring bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia beberapa waktu lalu.

"Jadi kita menjadi penyumbang 10 terbesar untuk anak-anak yang tidak lengkap imunisasinya di tahun 2020," sambungnya.

Jika situasi ini terus dibiarkan, lanjut Tandy, risiko transmisi akan semakin meluas dan risikonya Indonesia akan gagal mencapai eliminasi campak-rubella pada 2023 yang merupakan target global. Selain itu, Indonesia juga bisa gagal untuk mencapai tujuan bebas polio yang sebetulnya sudah dicapai sejak 2014.

"Tentu saja beban kasus dan KLB dapat menjadi beban ganda di tengah pandemi COVID-19 yang juga belum usai," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement