REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan penguasa Afghanistan Taliban untuk membuka kembali sekolah untuk anak perempuan di kelas 7-12. Penjabat kepala misi PBB di Afghanistan Markus Potzel menyatakan pada Ahad (18/9/2022), tindakan menutup sekolah itu adalah memalukan.
“Ini adalah peringatan yang tragis, memalukan, dan sepenuhnya dapat dihindari," ujar Potzel.
Perempuan remaja masih dilarang sekolah usai keputusan pembatasan ini diberlakukan tepat tahun lalu. Taliban telah gagal memenuhi berbagai janji untuk memungkinkan anak perempuan kembali ke kelas. Larangan tersebut menargetkan kelas 7-12, terutama berdampak pada anak perempuan berusia 12 hingga 18 tahun.
Padahal Taliban membuka kembali sekolah menengah untuk anak laki-laki sambil menginstruksikan anak perempuan untuk tetap di rumah. PBB memperkirakan bahwa lebih dari satu juta anak perempuan telah dilarang bersekolah di sekolah menengah selama setahun terakhir.
"Pengecualian anak perempuan yang sedang berlangsung dari sekolah menengah tidak memiliki pembenaran yang kredibel dan tidak memiliki paralel di mana pun di dunia. Ini sangat merusak generasi anak perempuan dan masa depan Afghanistan sendiri,” kata wakil khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Afghanistan itu.
PBB mengatakan penolakan pendidikan melanggar hak paling mendasar anak perempuan dan perempuan. Badan dunia itu mengatakan, itu meningkatkan risiko marginalisasi, kekerasan, eksploitasi dan pelecehan terhadap anak perempuan. Tindakan Taliban merupakan bagian dari kebijakan dan praktik diskriminatif yang lebih luas yang menargetkan perempuan dan anak perempuan sejak otoritas de facto mengambil alih kekuasaan pada 2021.
PBB sekali lagi meminta Taliban untuk membalikkan banyak tindakan yang telah diterapkan dalam membatasi perempuan dan anak perempuan Afghanistan untuk menikmati hak-hak dasar dan kebebasan.
Sebanyak 50 perempuan mengirim surat berjudul “A Year of Darkness: A Letter from Afghan girls to head of Muslim countries and other world leaders.” Gadis-gadis itu berasal dari ibu kota Kabul, provinsi Nangarhar timur dan provinsi Parwan utara. Para perempuan muda yang disebutkan dalam surat itu hanya memberikan nama depan mereka.
"Setahun terakhir, kita telah diingkari hak asasi manusia, seperti hak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk bekerja, kebebasan untuk hidup dengan bermartabat, kebebasan, mobilitas dan berbicara, dan hak untuk menentukan dan memutuskan untuk diri kita sendiri,” ujar Azadi seorang siswa kelas 11 berusia 18 tahun dari Kabul.