Rabu 28 Sep 2022 22:59 WIB

Mayoritas Pasien Gagal Ginjal Harus Cuci Darah karena Terlambat Ditangani

Pasien gagal ginjal yang lakukan terapi hemodialisis atau cuci darah capai 99 persen

Rep: Antara/ Red: Christiyaningsih
Sejumlah pasien melakukan cuci darah di Klinik Hemodialisis Tidore, Jakarta, Senin (13/1). Ilustrasi.
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah pasien melakukan cuci darah di Klinik Hemodialisis Tidore, Jakarta, Senin (13/1). Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Hemodialisis atau dalam bahasa awam disebut cuci darah menjadi terapi pengobatan yang paling banyak dijalani pada pasien gagal ginjal di Indonesia. Hal ini diungkapkan Ketua Umum Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) Aida Lydia.

Ia merujuk pada data Indonesian Renal Registry pada 2019 yang dihimpun Pernefri yang menunjukkan pasien gagal ginjal yang melakukan terapi hemodialisis mencapai 99 persen. Sementara pasien yang melakukan terapi dialisis peritoneal (CAPD) sebanyak satu persen.

Baca Juga

"Hemodialisis adalah modalitas yang paling banyak digunakan mencapai 99 persen. CAPD juga meningkat tetapi meningkatnya tidak setajam hemodialisis. Hemodialisis ini meningkat setelah memang BPJS Kesehatan diberlakukan di Indonesia," kata dia dalam diskusi yang diadakan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) di Jakarta, Rabu (28/9/2022).

Ia mengatakan salah satu faktor hemodialisis cukup tinggi karena kebanyakan pasien datang sudah dalam kondisi terlambat, seperti yang terjadi di RSCM sebagai RS rujukan terbesar yang mencatat lebih dari 90 persen pasien datang terlambat ke IGD. "Pada saat datang sudah membutuhkan dialisis karena datang dalam keadaan emergensi. Pada saat itu, kami tidak cukup waktu untuk memberikan edukasi, dan pada akhirnya dilakukanlah hemodialisis. Ini adalah salah satu faktor kenapa hemodialisis cukup tinggi," katanya.

Aida menyebutkan pasien-pasien yang menjalani hemodialisis dari tahun ke tahun angkanya meningkat dengan tajam. Jumlah pasien yang menderita gagal ginjal juga meningkat sehingga kebutuhan untuk terapi pengganti ginjal juga meningkat.

Proses hemodilasis bekerja dengan bantuan mesin khusus untuk menggantikan ginjal yang rusak agar tubuh bisa menyaring darah. Agar dialisis berjalan dengan baik, diperlukan akses pembuluh darah atau akses vaskular.

Aida mengatakan akses vaskular idealnya harus disiapkan jauh hari sebelum pasien benar-benar memerlukan hemodialisis. "Kenapa? Karena begitu dokter bedah melakukan operasi yang di mana dilakukan AV shunt antara pembuluh darah nadi dan pembuluh darah balik, untuk betul-betul bisa digunakan, itu perlu waktu. Waktunya berapa lama, tergantung pembuluh darah pasien, kadang bisa dua bulan atau tiga bulan," terangnya.

Walau hemodialisis banyak dipilih sebagai terapi pengobatan pada pasien gagal ginjal, di sisi lain terdapat masalah kurangnya pemerataan layanan tersebut. Ia mengatakan unit-unit hemodialisis yang terbanyak berada di Pulau Jawa dan Bali, sementara pulau lainnya masih sedikit.

"Di Sumatra hanya paling banyak di Sumatra Utara, lumayan juga di Sumatra Barat dan Sumatra Selatan tapi juga masih terhitung sedikit. Masih sangat sedikit sekali di Kalimantan dan Papua. Bahkan ada juga kabupaten yang sama sekali tidak mempunyai hemodialisis," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement