REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi kita yang terpisah dari Nabi Muhammad SAW selama berabad-abad, oleh bahasa, dan oleh budaya, tugas mengenalnya ini terkadang terbukti sedikit sulit.
Namun, akan sangat membantu untuk melihat Nabi melalui kacamata kita sendiri, bagaimana kita mengkategorikan orang, dan bagaimana kita memahami perilaku manusia. Dengan cara ini, kita bisa lebih memahaminya.
Pada zaman Hippocrates, orang mungkin telah melihat empat temperamen sebagai cara untuk memahami watak. Pada abad ke-18, humor akan menjadi titik sentuh untuk menafsirkan perbedaan dalam sifat kita.
Hari ini, kita memahami orang melalui psikologi dan salah satu aliran pemikiran populer adalah bahwa orang itu introvert atau ekstrovert. Bukti paling mencolok bahwa Nabi SAW tertutup adalah ayat dalam surat Al-Ahzab, di mana Tuhan pada dasarnya memberitahu para sahabat untuk memberi Nabi ruang.
Bukannya Nabi tidak ingin berada di sekitar orang dan bersosialisasi. Dia memang mencintai para sahabat dan menghabiskan banyak waktu bersama mereka. Hanya saja dia juga membutuhkan waktu istirahat.
Introvert biasanya perlu mengisi ulang setelah menghabiskan banyak energi dalam situasi sosial. Sedangkan ekstrovert merasa diberi energi oleh lingkungan sosial.
“Ketika Nabi Muhammad berusia hampir empat puluh tahun, dia diketahui menghabiskan waktu berjam-jam dalam masa pensiun dengan bermeditasi dan berspekulasi tentang semua aspek ciptaan di sekitarnya.” (Saifur Rahman Al-Mubarakpuri, Ar-Rahiiq Al-Makhtum)
Nabi merasa terbebani oleh kejahatan yang dia saksikan dari masyarakatnya. Tanggapannya adalah mundur ke gua Hira, kecenderungan seorang introvert dan suasana di mana para introvert melakukan pemikiran terbaik mereka.