Kamis 13 Oct 2022 01:37 WIB

Saksi Ungkap HET Pemerintah tak Bisa Imbangi Harga Keekonomian CPO

Saksi sebut pemerintah telah berusaha pastikan harga minyak goreng sesuai HET.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bayu Hermawan
Sidang kasus minyak goreng (ilustrasi)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Sidang kasus minyak goreng (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI Jakarta kembali menggelar sidang lanjutan kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas izin ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya dengan agenda pemeriksaan saksi. 

Fungsional analis Perdagangan Direktorat Jenderal Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Indra mengatakan pemerintah telah berusaha keras untuk memastikan ketersediaan harga minyak goreng di pasaran sesuai dengan ketetapan Harga Eceran Tertinggi (HET). Padahal, HET yang ditetapkan jauh selisihnya dari harga keekonomian yang sesungguhnya. Ujungnya, pelaku usaha jadi merugi. 

Baca Juga

"Minyak jenis apapun merk apapun harus dijual dengan harga Rp14 ribu. Dimana harga keekonomiannya sekitar Rp17.260 sehingga nanti yang akan dibayarkan oleh BPDPKS adalah selisih dari harga keekonomian dikurangi HET," kata Indra dalam persidangan pada Selasa (11/10). 

Indra menyebut kebijakan ini tak bertahan lama. Sebab, harga CPO kian naik. Dana yang disiapkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPBDPKS) sekitar Rp7,6 triliun tidak akan sanggup bila harus membayar selisih harga minyak goreng ini. 

Untuk mengantisipasi adanya kelangkaan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Sederhana Untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPBDPKS. 

Terlebih, saat itu harga minyak goreng telah menyentuh harga Rp18.000 hingga Rp19.000. Kemudian, pemerintah meminta para pelaku usaha untuk menjual minyak goreng kemasan dengan harga Rp14.000. Padahal, harga minyak goreng telah menyentuh Rp17.260. 

"Sehingga ada selisih harga sekitar Rp3.200an akan diganti dengan dana BPDPKS. Ini kebijakan pertama," ujar Indra. 

Namun, kebijakan ini tak bertahan lama. Pasalnya, kebutuhan minyak goreng kemasan sederhana mencapai 200 juta liter. Sedangkan, para pelaku usaha hanya sanggup mengumpulkan sekitar 40 juta liter minyak goreng kemasan sederhana. 

"Kalau mereka (pelaku usaha) akan berinvestasi mungkin dibutuhkan waktu cukup lama untuk mendatangkan mesin kemasan," sebut Indra.

Karena itu, pemerintah kembali mengeluarkan Permendag Nomor 03 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPDPKS sebagai kebijakan baru. Aturan ini berupaya membuat minyak goreng kemasan baik sederhana maupun premium jadi satu harga. 

Kemudian, pemerintah mengeluarkan Permendag Nomor 06 Tahun 2022 sebagai aturan baru. Dalam kebijakan ini, minyak goreng dibagi ke tiga kategori. Yakni, minyak goreng kemasan, kemasan sederhana dan minyak goreng curah. Masing-masing kategori memiliki HET sendiri. 

HET minyak goreng premium senilai Rp14 ribu. Minyak goreng kemasan Rp13.500. Terakhir, minyak goreng curah seharga Rp11 ribu. Kebijakan ini diperkuat dengan Permendag Nomor 8 Tahun 2022. Kebijakan ini mengatur soal DMO. Regulasi ini meminta para pelaku usaha untuk melakukan subsidi minyak goreng. Pelaku usaha yang hendak ekspor diwajibkan untuk menenuhi DMO sebesar 20% ke dalam negeri sebelum melakukan ekspor.

Dalam kasus ini ada lima orang terdakwa. Mereka adalah Indrasari Wisnu Wardhana selaku Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan. Master Parulian Tumanggor selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia. Senior Manager Corporate Affairs PT Pelita Agung Agrindustri/Permata Hijau Group Stanley MA.

Selanjutnya, Picare Tagore Sitanggang selaku General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas dan pendiri dan penasihat kebijakan/analisa PT Independent Research & Advisodry Indonesia, Lin Che Wei. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement