Oleh : Reiny Dwinanda, Jurnalis Republika.co.id
REPUBLIKA.CO.ID, Saat demam, kebanyakan orang segera mengambil obat untuk meredakannya. Parasetamol atau ibuprofen biasanya ada di kotak obat tiap keluarga.
Dari kedua jenis obat pereda demam itu, parasetamol yang lebih banyak dipakai. Tak heran jika ketika Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso menyebut jangan buru-buru pakai sirop parasetamol, sebagian orang tua jadi rusuh.
Itu menjadi seruan kewaspadaan di tengah bermunculannya kasus-kasus gangguan ginjal akut misterius pada anak-anak. Hampir 200 anak dari 22 provinsi mengalaminya. Disebut misterius karena penyebab penyakitnya tidak mengerucut pada satu konklusi.
Merujuk pada kasus di Gambia, gangguan ginjal akut pada anak ternyata ada kaitannya dengan empat obat batuk pilek produksi Maiden Pharmaceutical, India. Obat tersebut mengandung bahan pelarut obat berupa dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol (EG) yang disinyalir menjadi penyebab kesakitan anak-anak Gambia.
Dua pelarut itu dilarang penggunaannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) di Indonesia. Sementara itu, sebagai bentuk kewaspadaan, Kementerian Kesehatan juga telah menginstruksikan agar apotek menyetop penjualan obat dalam sediaan sirop.
Tenaga kesehatan juga untuk sementara tidak boleh meresepkan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair/sirop. Bukan parasetamolnya yang tidak aman, tetapi kandungan zat pelarutnya.
Lalu, apa daya orang tua kalau anak kecilnya demam? Dr Piprim menganjurkan untuk kembali ke cara konvensional. Sesungguhnya obat adalah opsi terakhir setelah mengistirahatkan anak, mencukupi kebutuhan cairannya, dan menyeka tubuhnya dengan kompres hangat. Cara-cara ini bisa membuat anak nyaman sementara sistem kekebalan tubuhnya berjuang melawan penyakit.
Kalau anak tampak masih merana, periksakan ke dokter. Parasetamol bisa saja diresepkan jika diperlukan, tetapi bukan dalam sediaan sirop.
Demam sebetulnya bukan penyakit, melainkan gejala bahwa tubuh sedang memerangi sesuatu yang asing, entah virus, bakteri, atau patogen lainnya. Anak bisa saja demam karena infeksi gigi, infeksi saluran napas atas, demam berdarah dengue, Covid-19, efek samping vaksin, atau penyebab lainnya.
Kasus gangguan ginjal akut ini sekaligus menjadi pengingat bagi kita semua untuk berhati-hati dalam memberikan obat kepada anak. Coba lihat di lemari obat, apakah masih ada obat sisa yang disimpan untuk jaga-jaga? Bisa jadi, obat tersebut seharusnya sudah tidak layak dikonsumsi lagi ketika anak mengalami sakit yang sama.
Ada juga orang tua yang berinisiatif menebus ulang obat resep dokter. Padahal, resep itu hanya untuk satu kali pengobatan. Nah, di sini juga diperlukan peran apotek-rumah obat untuk disiplin tidak menjual obat tanpa resep dokter.
Orang tua juga perlu lebih cermat dalam memberikan obat sesuai dosis dan aturan pakainya. Ketahui pula apa yang harus dilakukan saat dosisnya terlewat.
Di sisi lain, dokter-dokter juga harus menjadi teladan dengan mengedepankan prinsip penggunaan obat yang rasional. Ketika mendapat pasien cilik yang batuk pilek biasa, masih ada yang meresepkan antibiotik berikut racikan tiga sampai lima obat yang dijadikan puyer. Padahal, antibiotik tidak diperlukan dalam mengatasi selesma.
Sementara itu, polifarmasi juga berisiko buat anak. Satu obat saja ada efek sampingnya, apalagi lima! Belum lagi memperhitungkan interaksi obat dan lainnya.
Praktik-praktik seperti ini patut direnungkan kembali. Jangan-jangan, langkah yang kita tujukan untuk mengobati anak justru membebani ginjalnya atau mendatangkan efek samping lain dengan beragam derajat keparahan.