REPUBLIKA.CO.ID, Pada 1220 M, peperangan hebat antara pasukan Sultan Ala’udin dan pasukan Mongol di bawah komando Jengiz Khan meletus. Serangan brutal yang dilakukan 70 ribu pasukan Jengiz Khan tak mampu diredam. Bukhara pun jatuh ke tangan pasukan Mongol. Dengan kejam dan sadis, pasukan Mongol membantai penduduk kota serta membakar madrasah, masjid, dan bangunan penting lainnya.
Jengiz Khan meluluhlantakkan peradaban dan ilmu pengetahuan yang dibangun umat Islam di Bukhara. Bukhara rata dengan tanah. Ibnu Asir melukiskan kondisi Bukhara dengan kata-kata ‘ka an lam tagna bi al-amsi’ (seolah-olah tak ada apa-apa sebelumnya). Cahaya kemajuan peradaban yang ilmu pengetahuannya terpancar dari Bukhara pun meredup.
Bukhara di Zaman Modern
Meski masa kejayaannya telah berlalu pada abad ke-13 M, Bukhara masih memegang peranan penting di abad ke-19 M. Menurut Demezon, pada 1833, Bukhara tetap menjadi bagian yang penting dalam kehidupan keagamaan dan budaya di kawasan tersebut.
Madrasah-madrasah di Bukhara masih terkenal hingga ke Turkistan. Pelajar-pelajar dari Khiva, Kokand, Gissar, bahkan dari Samarkand dan kawasan Tatar berbondong-bondong belajar ke Bukhara. Ada sebanyak 60 madrasah di Bukhara baik yang sukses maupun kurang sukses,” papar Demezon menggambarkan situasi Bukhara di abad ke-19.
Memasuki era modern, Bukhara berada di bawah kekuasaan Rusia. Bukhara pun dijadikan semacam bidak catur dalam permainan besar antara Rusia dan Inggris. Kota itu benar-benar merdeka selama revolusi komunis. Namun, Bukhara akhirnya masuk dalam kekuasaan Uni Soviet.
Menyusul terbentuknya Uni Soviet, Tajiks yang merupakan bagian dari Uzbekistan menuntut kemerdekaan. Rusia yang mendukung Uzbekistan atas Tajiks menyerahkan kota yang secara tradisional berbahasa dan berbudaya Iran, yakni Bukhara dan Samarkand, kepada Uzbekistan.