REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas Perempuan mendukung proses hukum terhadap BT (48 tahun) atau dikenal sebagai "pesulap hijau”. BT terjerat kasus kekerasan seksual terhadap sejumlah ibu muda di Kecamatan Padang Tiji Kabupaten Pidie.
Komnas Perempuan menemukan kekerasan seksual yang dilakukan BT ini dikenali dengan sebutan “pesulap hijau” karena pelaku menggunakan jubah dan peci berwarna hijau saat melakukan kekerasan seksual. Pelaku melakukan kekerasan seksual dalam bentuk pencabulan dan/atau persetubuhan dengan modus pengobatan alternatif.
"Korbannya ibu rumah tangga muda yang sedang ditinggal merantau suaminya. Kondisi ini telah berlangsung selama lima tahun," kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani dalam keterangan yang dikutip pada Ahad (13/11).
Komnas Perempuan meminta aparat menerapkan UU No.12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dalam kasus pesulap hijau karena kasus BT memuat unsur-unsur tindak kekerasan seksual dalam bentuk eksploitasi seksual, sebagaimana diatur pada Pasal 12 UU TPKS.
Dalam kasus ini BT telah menyalahgunakan kepercayaan yang timbul dari tipu muslihat atau memanfaatkan kerentanan korban yang mempercayai BT mampu menyembuhkan sakitnya untuk mendapatkan keuntungan keinginan seksualnya. Ancaman pidana eksploitasi seksual adalah 15 tahun penjara atau denda sebesar Rp 1 miliar.
"Ini untuk kepentingan terbaik bagi korban kekerasan seksual agar dapat mengakses kebenaran, keadilan dan pemulihan," ujar Andy.
Hingga saat ini, BT disangkakan dengan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat, yaitu pasal Jarimah Pemerkosaan yang diatur dalam Pasal 48 junto Pasal 52 tentang alat bukti sumpah yang dilakukan korban.
Padahal Komnas Perempuan meyakini penggunaan UU TPKS membuat korban memiliki hak mendapatkan perlindungan dan pemulihan sejak pelaporan dilakukan hingga pasca persidangan.
UU TPKS juga memuat pidana tindak pidana kekerasan seksual yang lebih luas daripada yang dikenali di dalam UU lainnya, dan daripada pengaturan di Qanun Jinayat.
"Karenanya, Komnas Perempuan berpendapat bahwa UU TPKS lebih tepat digunakan dalam kasus kekerasan seksual, termasuk kasus BT dan kasus-kasus lain kekerasan seksual di Aceh. UU TPKS memiliki pengaturan yang lebih komprehensif, terutama dalam memastikan penyelenggaraan pemenuhan hak korban melalui pengaturan hukum acara pidana dan jaminan hak korban atas perlindungan, penanganan dan pemulihan," tegas Andy.