Selasa 15 Nov 2022 10:25 WIB

Penerapan SCR Dinilai Bisa Kurangi Dampak Emisi PLTU

Teknologi SCR sudah diterapkan di negara-negara maju.

Rep: Antara/ Red: Satria K Yudha
Foto udara area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah Tanjung Tiram, Kecamatan Moramo Utara, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Senin (19/9/2022). PLTU berkapasitas 2 x 50 megawatt yang dibangun PT Dian Swastika Sentosa Power Kendari dengan nilai investasi sekitar Rp2,6 triliun itu saat ini telah terkoneksi sampai di Sulawesi bagian barat dan Sulawesi selatan sementara untuk Sulawesi Tenggara wilayah kepulauan masih dalam tahap pembangunan menara tiang sutet.
Foto: ANTARA/JOJON
Foto udara area Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di wilayah Tanjung Tiram, Kecamatan Moramo Utara, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Senin (19/9/2022). PLTU berkapasitas 2 x 50 megawatt yang dibangun PT Dian Swastika Sentosa Power Kendari dengan nilai investasi sekitar Rp2,6 triliun itu saat ini telah terkoneksi sampai di Sulawesi bagian barat dan Sulawesi selatan sementara untuk Sulawesi Tenggara wilayah kepulauan masih dalam tahap pembangunan menara tiang sutet.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai penerapan teknologi Selective Catalytic Reduction (SCR) dapat diandalkan dalam jangka waktu dekat untuk mengurangi emisi dan polusi udara dari PLTU. Menurut dia, penerapan teknologi SCR bisa mengatasi pengurangan gas karbon atau sama dengan teknologi Carbon Capture (CCUS), meski banyak kalangan menilai keduanya bukan merupakan penerapan dari energi hijau.

"Mengingat untuk pensiun dini pembangkit itu butuh biaya besar, maka pemanfaatan teknologi yang bisa mengurangi karbon, saya kira bagus. Apalagi 2060 kita menuju NZE yang mana energi fosil sebagai energi primer ini bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan," kata Mamit dalam pernyataannya, di Jakarta, Senin (14/11/2022). 

 

Namun, menurut dia, hambatan dari penggunaan teknologi SCR adalah nilai investasi yang sangat besar. Akan tetapi, meski jika dibandingkan dengan potensi pensiun dini terhadap PLTU, biayanya masih jauh lebih murah.

 

Teknologi SCR berfungsi dalam mengurangi nitrogen oksida (NOx), misalnya dari angka 100 ke atas, menjadi turun hingga 50 ke bawah. Teknologi tersebut sudah terbukti mampu menurunkan nitrogen oksida dan nitrogen dioksida dengan mengkonversikan molekulnya menjadi air dan nitrogen bebas.

 

Dengan menggunakan SCR pada PLTU bersamaan dengan low NOx burner, maka secara signifikan terdapat penurunan kadar nitrogen oksida dan nitrogen dioksida. Selain itu, membuka kemungkinan co-firing jauh lebih banyak amonia hijau dibandingkan batu bara di dalam PLTU.

 

Potensi peningkatan emisi NOx dari hasil pembakaran ammonia dapat diminimalisasi melalui teknologi SCR, sehingga mampu mengurangi konsentrasi NOx dalam gas buang dari sekitar 1000 ppm menjadi kurang dari 10 ppm.

 

Penerapan teknologi SCR sudah berjalan di negara maju seperti Jerman, AS, China, dan Jepang untuk mengurangi gas karbon dan polusi udara, terutama bagi PLTU yang masih menggunakan batu bara sebagai bahan bakar. 

 

Bagi Indonesia yang sedang mempromosikan transisi energi terbarukan, amonia biru dan hijau dapat menjadi salah satu bagian dari perjalanan menuju transisi energi terbarukan, sebagai sumber energi bersih alternatif untuk PLTU.

 

Amonia merupakan merupakan bahan kimia alami yang ditemukan di udara, air, tumbuhan, dan hewan. Bahan kimia ini terdiri atas atom nitrogen dan hidrogen, dan prosesnya di alam terjadi secara alami melalui siklus nitrogen.

 

Meski demikian, penggunaan amonia dalam sistem energi ternyata masih sangat terbatas. Sekitar 80 persen penggunaan amonia global masih terkait dengan industri pupuk dan hanya kurang dari satu persen digunakan sebagai sumber energi.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement