REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof. Zainuddin Maliki - Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya 2003-2012, saat ini anggota DPR-RI 2019-2024
Adalah almarhum Prof. Bachtiar Effendy yang dikenal serius menganjurkan agar Muhammadiyah tidak mencukupkan diri mengembangkan amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, pilantropi, pengurangan risiko bencana, ekonomi serta di bidang kemanusiaan lainnya. Muhammadiyah harus memperluas amal usahanya di bidang politik. Tentu dikarenakan gerakan dakwah, amar makruf nahi munkar, tidak bisa dilepaskan dari urusan politik.
Tentu disadari bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik. Jika Muhammadiyah dekat-dekat dengan politik berisiko terkontaminasi oleh permainan politik kotor. Namun pilihan political disengagemant - melepas diri dari politik dengan pemahaman bahwa politik itu kotor, jelas juga berisiko. Risiko semakin jelas jika yang mengendalikan politik itu penguasa yang mengidap penyakit political resentment - kebencian penguasa terhadap lawan politik.
Tiga wilayah strategis dalam politik
Begitu luas wilayah yang menjadi urusan politik. Boleh dikata semua aspek kehidupan. Namun, setidaknya ada tiga wilayah strategis yang perlu mendapatkan perhatian Muhammadiyah. Jika tidak ambil bagian, maka ketiga hal tersebut akan dikendalikan orang lain.
Ketiga hal dimaksud yang pertama adalah politik Undang-undang. Adalah urgen sekali untuk turut mengendalikan politik undang-undang. Masalahnya UU bersifat mengikat dan memaksa. Tidak seperti fatwa, yang kepatuhannya sangat tergantung kepada masing-masing individu. Seperti fatwa larangan merokok yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah. Banyak sekali warga Muhammadiyah yang tidak mempedulikan larangan merokok.
Andaikata larangan merokok dituangkan dalam bentuk undang-undang, maka hanya ada dua pilihan jika melanggar, dipidana penjara dan atau bayar denda.
Wilayah politik yang strategis kedua adalah distribusi alokasi kekuasaan. Muhammadiyah kaya guru bangsa dengan berbagai gagasan besar mengenai politik kebangsaan. Tetapi, betapapun bagusnya konsep politik kebangsaan tanpa dikawal oleh pemegang politik kekuasaan sulit gagasan besar itu bisa diwujudkan.
Ketiga, menyangkut distribusi alokasi anggaran. Untuk yang tersebut terakhir ini termasuk distribusi dan alokasi sumberdaya langka yang dimiliki negeri ini yang justru lebih banyak berada di tangan para pemburu rente atau oligarki.
Alat menyalurkan political resentment
Perlu dicatat bahwa UU yang bersifat mengikat dan memaksa bisa dijadikan alat menyalurkan political resentment. Sebut saja.misalnya, ketika DPR mengesahkan UU 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. UU ini jelas sekali merugikan pengembangan Rumah Sakit Muhammadiyah. Dalam pasal 7 ayat (4) dinyatakan Rumah Sakit yang didirikan oleh swasta harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan.
Oleh karena Muhammadiyah jelas-jelas tidak hanya bergerak khusus di bidang rumah sakit, tentu saja eksistensi Rumah Sakit Muhammadiyah yang sudah memberi layanan kesehatan, bahkan sejak Indonesia belum merdeka menjadi terancam. Tak kurang dari 70 Rumah Sakit Muhammadiyah sejak UU tersebut diberlakukan tidak bisa memperpanjang izin.
Jika dipaksakan, pengurusnya bisa dipidanakan, karena dalam Pasal 62 disebutkan setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit tidak memiliki izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar.