Sabtu 19 Nov 2022 01:02 WIB

Wamenag: Ada Tren Konservatisme Kaum Millenial

Ancaman ekstremisme di kalangan kaum muda berusia 15-24 sangat mengkhawatirkan

Rep: Muhyiddin/ Red: Andi Nur Aminah
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid
Foto: ANTARA/Galih Pradipta
Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Agama RI, Zainut Tauhid Sa’adi menunjukkan adanya tren konservatisme di kalangan kaum milenial. Hal ini disampaikan Zainut dalam acara Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) 2022 di Universitas Islam Negeri (UIN) Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung (SATU), Kamis (17/11/2022).

Zainut mendasarkan pandangannya tersebut pada beberapa hasil penelitian. Pusat Studi Agama dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2018 misalnya, telah melakukan penelitian di 18 kota/ kabupaten di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa ancaman ekstremisme di kalangan kaum muda berusia 15-24 sangat mengkhawatirkan. 

Baca Juga

“Tren konservatisme ini dicirikan dengan scriptural plus komunal yang juga menguat,” ujar Zainut dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Jumat (18/11/2022).

Terkait hal ini, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta juga melakukan riset di 18 kota/ kabupaten di Indonesia tentang literatur keislaman generasi milenial. Hasilnya menunjukkan bahwa generasi milenial sangat memiliki minat untuk melakukan akses terhadap literatur keagamaan. 

“Masalahnya adalah terletak pada pilihan topik, di mana jihad dan khilafah paling banyak diminati,” ucap Zainut.

Data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dirilis pada 2019 juga menunjukkan fakta bahwa 59,1 persen pelaku terorisme, berusia kurang dari 30 tahun. Kalangan muda usia 17-24 tahun menjadi sasaran utama penyebaran paham ekstremisme. 

“Survei BNPT tersebut juga menunjukan, 80 persen generasi muda rentan terpapar ekstremisme, karena cenderung tidak berpikir kritis. Umumnya generasi muda milenial ini, lebih cenderung menelan mentah-mentah, arus distribusi informasi dan ideologi. Karena sikap intoleran biasanya muncul, pada generasi yang tidak berpikir kritis. Ini menjadi sasaran empuk kelompok ekstrem,” kata Zianut.

Berkenaan fakta itu, dia pun mengingatkan PMII akan pentingnya penguatan moderasi beragama dalam pemahaman teks-teks keagamaan dan kehidupan sosial kalangan mahasiswa. “Peran mahasiswa sangat penting sebagai katalisator mewujudkan Islam yang rahmatan lil alamin,” jelas dia. 

Pengarusutamaan moderasi beragama, tambah Zianut, setidaknya dilandasi oleh tiga hal. Pertama, kehadiran agama untuk menjaga martabat manusia dengan pesan utama rahmah (kasih-sayang). Kedua, pemahaman bahwa pemikiran keagamaan bersifat historis, sementara realitas terus bergerak secara dinamis, sehingga kontekstualisasi adalah keniscayaan, tidak justru terjebak pada teks yang melahirkan cara beragama yang ekslusif. 

Ketiga, tanggung jawab kita untuk menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dari siapa saja yang ingin merongrong kehormatanya. "Dengan demikian karakter dan kompetensi seorang pemimpin harus dipadu padankan dengan baik agar kepemimpinan di semua lini kehidupan mendapatkan kepercayaan yang kuat," paparnya.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement