Rabu 23 Nov 2022 01:10 WIB

Warga Australia yang Dibebaskan Kisahkan Ngerinya Penjara Myanmar

Di penjara Myanmar ada interogasi paksa dengan besi kaki hingga siksaan di dalam sel

Rep: Fergi Nadira/ Red: Christiyaningsih
Di penjara Myanmar ada interogasi paksa dengan besi kaki hingga siksaan di dalam sel. (ilustrasi)
Foto: anadolu agency
Di penjara Myanmar ada interogasi paksa dengan besi kaki hingga siksaan di dalam sel. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA - Seorang ekonom Australia pada Selasa (22/11/2022) menceritakan kengerian penjara Myanmar saat ia ditahan selama dua tahun. Ia membeberkan tentang interogasi dengan besi kaki, kemelaratan, dan suara jeritan dari teman satu sel yang disiksa.

Ekonom tersebut bernama Sean Turnell yang pulang ke Sydney pada Jumat pekan lalu setelah dibebaskan sebagai bagian dari amnesti hampir 6.000 tahanan junta Myanmar. Dilansir laman Channel News Asia, ia memberikan rincian publik pertama tentang penahanannya dalam sebuah wawancara dengan surat kabar The Australian.

Baca Juga

Turnell menceritakan awalnya ia ditahan di penjara Insein Yangon di sel beton 6 x 2,5 meter di mana kursi besi dengan besi kaki dibaut ke lantai. Dia kemudian menjalani dua bulan interogasi paksa yang langsung ditarik paksa dari kasusnya.

Para pejabat menuduh Turnell bekerja untuk intelijen Inggris dan mengoperasikan senjata. Ia juga sempat ditanya tentang pekerjaannya untuk Suu Kyi. Dia mengatakan kepada surat kabar itu bahwa dia terinfeksi Covid-19 lima kali dan ditahan di sel isolasi selama berbulan-bulan.

Pada hari-hari awal penahanannya, Turnell mengatakan dia bisa mendengar suara orang-orang di luar yang memukul panci dan wajan di malam hari sebagai protes terhadap kudeta militer. "Kemudian datang ledakan dan tembakan dan orang-orang disiksa di kamar-kamar terdekat. Saya pikir, mereka tidak akan melakukan itu kepada saya pasti? Kemudian setelah beberapa saat, saya mulai berpikir, mungkin mereka akan melakukannya. Saya pikir mereka ingin saya mendengar dia," katanya.

Turnell mengatakan dia berharap diperlakukan dengan manusiawi. "Mereka tidak menempelkan elektroda ke saya, tapi saya dibuang ke sel yang kotor. Makanan yang mereka berikan kepada saya (datang) dalam ember. Selama 650 hari, saya makan dari ember," tuturnya.

Ia kemudian dipindahkan di pusat penahanan Naypyidaw. Bukan lebih baik, justru keadaan semakin buruk. Tempat makan bukan lagi menggunakan ember baru tapi ember cat. "Mereka tidak memukuli saya, tetapi mereka mendorong saya," katanya.

Di Naypyidaw, para tahanan dikurung selama 20 jam sehari. "Pada musim hujan, atap akan bocor dan kami akan duduk di sana sepanjang malam kadang-kadang dengan air yang mengalir melalui atap, memegangi pakaian dan selimut Anda agar tetap kering," ungkap Turnell.

Turnell mengatakan istrinya, Ha Vu, seorang ekonom di Universitas Macquarie Australia, membantunya bertahan dengan obrolan telepon dan secara teratur mengirim buku atau kue melalui kedutaan Australia. Ekonom tersebut pada September dijatuhi hukuman tiga tahun penjara karena melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi Myanmar.

Tuduhan itu jelas ia bantah. Ia kemudian dibebaskan dalam amnesti minggu lalu bersama dengan mantan duta besar Inggris Vicky Bowman dan jurnalis Jepang Toru Kubota.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement