REPUBLIKA.CO.ID, Kondisi sebagian besar tanah di wilayah Hijaz, khususnya sekitar Makkah, adalah kering, berpasir, berbatu-batu, dan langka air. Tidak ada hasil pertanian yang dapat dipetik di wilayah itu. Oleh karena itu, mata pencaharian penduduk di kawasan itu pada khususnya adalah berdagang. Kegiatan berdagang ini tak terkecuali juga dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Ayahanda Nabi SAW, Abdullah, telah wafat ketika Nabi masih dalam kandungan. Sang ibu, Aminah, menyusul wafat enam tahun kemudian sehingga Muhammad diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Setelah kematian sang kakek, selang dua tahun kemudian Muhammad pun tinggal bersama pamannya, Abu Thalib, yang berprofesi sebagai pedagang sebagaimana kebanyakan pemimpin Quraisy lainnya.
Dari sang pamanlah Muhammad berkenalan dengan dunia perdagangan untuk pertama kalinya. Afzalur Rahman dalam Ensiklopedi Muhammad Sebagai Pedagang memaparkan, Muhammad tumbuh dewasa di bawah asuhan Abu Thalib dan terus belajar mengenai bisnis perdagangan dari pamannya ini.
Seperti kebanyakan pemuda yang jujur dan punya harga diri, Nabi tidak suka berlama-lama menjadi tanggungan pamannya yang miskin. Maka, beliau bekerja sebagai penggembala untuk penduduk Makkah dengan imbalan yang kecil pada masa kanak-kanaknya. Ketika beranjak dewasa dan menyadari bahwa pamannya bukanlah orang berada serta memiliki keluarga besar yang harus diberi nafkah, Muhammad pun mulai berdagang di Kota Makkah.
Dalam menggeluti profesinya sebagai pedagang, Nabi tak sekadar mencari nafkah yang halal guna memenuhi biaya hidup, tetapi juga untuk membangun reputasinya agar orang-orang kaya berdatangan dan mempercayakan dana mereka kepadanya.
Berbekal pengalamannya dalam berdagang dan reputasinya yang terkenal sebagai pedagang yang terpercaya dan jujur, beliau memperoleh banyak kesempatan berdagang dengan modal orang lain, termasuk di antaranya modal dari seorang pengusaha kaya raya, Khadijah, yang kelak menjadi istrinya.