REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau Indonesia Eximbank menegaskan dukungannya terhadap penegakan hukum dan konsisten menerapkan zero tolerance to corruption di lingkungan kerja. Hal ini sekaligus menerapkan tata kelola perusahaan yang baik.
Direktur Eksekutif LPEI Riyani Tirtoso mengatakan LPEI sebagai Special Mission Vehicle di bawah pemerintah yakni Kementerian Keuangan berupaya menghormati langkah-langkah penegak hukum dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan internal perseroan periode 2014-2018
"Kami akan mengikuti proses sesuai ketentuan yang berlaku dan akan bersikap kooperatif selama proses hukum berlangsung sebagai bentuk tanggung jawab LPEI dalam menerapkan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance," ujarnya, Senin (5/12/2022).
Menurutnya, dalam memperkuat tata kelola dan pelaksanaan mandat LPEI, sejak 2020 dilakukan beberapa inisiatif, antara lain memastikan para pejabat LPEI melaporkan kekayaan di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang tercatat 100 persen.
Kemudian, LPEI bersama dengan KPK dan Itjen Kemenkeu melakukan awareness training mengenai zero to gratification dan anti korupsi. Lalu, perseroan memperbarui Conflict of Internal Charter dan Pakta Integritas pada 2020.
Selanjutnya, perseroan menerapkan code of conduct dengan sanksi yang jelas dan tegas dalam berbagai aktivitas bisnis demi mencegah terjadinya penyimpangan."Terakhir, meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar dapat mengantisipasi risiko bisnis di masa depan, termasuk penguatan fungsi monitoring," ucapnya.
Ke depan LPEI berkomitmen menyalurkan pembiayaan kepada sektor yang memiliki daya ungkit dan multiplier effect terhadap ekspor, pendapatan dan penambahan lapangan kerja, serta senantiasa merujuk pada mandat yang diberikan untuk meningkatkan daya saing produk dan mendorong industri strategis nasional.
Persidangan kasus korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI telah selesai. Majelis hakim telah menjatuhkan vonis penjara antara empat tahun hingga enam tahun, ditambah denda uang pengganti yang mencapai kurang lebih Rp 3 triliun.