Rabu 07 Dec 2022 12:46 WIB

Mencegah Bencana Ekologis adalah Fardhu Ain

Bencana ekologis merupakan bencana yang dapat dihindari.

Warga berada di depan rumahnya yang tergenang banjir, (ilustrasi).
Foto: ANTARA FOTO
Warga berada di depan rumahnya yang tergenang banjir, (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rakhmad Zailani Kiki, Kepala Lembaga Peradaban Luhur, Redaktur Mediaislam.id

Pengertian bencana ekologis, dikutip dari Mongabay.com, adalah peristiwa alam atau bencana karena keikutsertaan manusia secara sistemik, destruktif dan masif yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup, kerugian ekonomi, konflik agraria, pelanggaran HAM dan korban jiwa. Disebabkan akibat ulah manusia, bencana ekologis merupakan bencana yang dapat dihindari, seperti kebakaran hutan untuk perluasan lahan perkebunan; banjir yang disebabkan oleh pengundulan hutan; penyempitan saluran air karena adanya bangunan; penyumbatan saluran air karena sampah; penurunan permukaan tanah karena pengambilan air tanah dan bangunan; dan juga perubahan iklim.

Mengenai perubahan iklim, negara-negara di dunia sudah mengakui adanya kontribusi besar manusia terhadap perubahan iklim yang mengakibatkan naiknya suhu bumi sehingga menimbulkan bencana ekologis. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri memberikan pengertian perubahan iklim sebagai perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka panjang. Pergeseran ini mungkin bersifat alami, tetapi sejak periode 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi pendorong utama perubahan iklim, terutama dengan pembakaran bahan bakar fosil (seperti batu bara, minyak, dan gas) yang menghasilkan gas yang memerangkap panas.Berbagai upaya telah dilakukan oleh ratusan negara untuk mengatasi perubahan iklim akibat ulah manusia ini melalui serangkaikan pertemuan tingkat tinggi yang bernama Conference Of The Parties (COP) dari COP pertama sampai yang COP terakhir, ke-27, dihadiri oleh 200 negara dan dilaksanakan dua pekan di resor Mesir Sharm el-Sheikh yang berakhir pada Ahad (20/11/2022).

Namun, hasil COP 27 tidak dapat maksimal jika kesadaran untuk mencegah terjadinya bencana ekologis hanya ada di tingkatan pemerintah, sedangkan warga negara, setiap individu, tidak memiliki kesadaran yang sama, tidak merasa memiliki kewajiban individu yang dalam konsep Islam diistilahkan dengan fardhu `ain. Karena jumlah rakyat  (warga negara, individu) tentu lebih banyak dari jumlah aparat pemerintah yang memiliki kontribusi besar terjadinya bencana ekologis.

Agar muncul kesadaran individu, dalam hal ini pada diri setiap Muslim, karena adanya beban hukum fardhu `ain, maka seorang ulama Indonesia terkemuka, Prof KH Ali Yafie melakukan teroboson hukum Islam melalui pemikirannya dengan konsep al-dlaruriyat  al-sitt atau al-kulliyat al-sittBuah pikirannya ini kemudian diterbitkan pada tahun 2006 dalam satu buku dengan judul Merintis Fiqh Lingkungan Hidup.

Buah pemikiran Prof KH Ali Yafie merupakan hal baru dan menjadi sumbangan pemikiran yang menarik dan berharga bagi teologi lingkungan hidup. Melalui pendekatan fiqih atau hukum Islam yang bersumber dari khazanah intelektual klasik Islam, Prof. KH Ali Yafie menyatakan beberapa hal, yaitu: Pertama, pelestarian dan pengamanan lingkungan hidup dari kerusakannya, terjadinya bencana ekologis, adalah  bagian dari iman. Kualitas iman seseorang bisa diukur salah satunya dari sejauh mana sensitifitas dan kepedulian orang tersebut terhadap kelangsungan lingkungan hidup.

Kedua, melestarikan dan melindungi lingkungan hidup adalah kewajiban setiap orang yang berakal dan baligh atau dewasa. Melakukannya adalah ibadah, terhitung sebagai bentuk kebaktian manusia kepada Tuhan. Penanggung jawab utama dalam menjalankan kewajiban pemeliharaan dan pencegahan lingkungan hidup ini adalah pemerintah (ulil amri). Pemerintah telah diamanati memegang kekuasaan untuk memelihara dan melindungi lingkungan hidup, bukan sebaliknya mengeksploitasi dan merusaknya.

Ketiga, pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup (hifdz al-bi`ah) masuk dalam kategori komponen utama (primer) dalam kehidupan manusia (al-dlaruriyat, al-kulliyat). Dengan demikian, komponen dasar kehidupan manusia tidak lagi lima hal sebagaimana yang dikenal dengan konsep al-dlaruriyat al-khams atau al-kulliyat al-khams. Tetapi menjadi enam hal, ditambah dengan komponen lingkungan hidup sehingga menjadi al-dlaruriyat  al-sitt atau al-kulliyat al-sitt, yaitu: hifdz al-nafs (perlindungan jiwa, kehormatan), hifdz al-aql (perlindungan akal), hifdz al-mal (perlindungan harta kekayaan), hifdz al-nasb (perlindungan keturunan), hifdz al-ddin ( perlindungan agama), dan hifdz al-bi`ah (perlindungan lingkungan hidup).  

Kesimpulannya, menurut Prof. KH Ali Yafie, semua kemashlahatan kehidupan manusia harus diorientasikan pada al-dlaruriyat  al-sitt atau al-kulliyat al-sitt  ini. Dan khusus untuk masalah lingkungan, hifdz al-bi`ah (perlindungan lingkungan hidup) menjadi kedaruratan yang harus diprioritaskanjuga dan hukumnya wajib `ain atau menjadi kewajiban setiap Muslim, terlebih Indonesia yang kebanyakan wilayahnya  rawan dengan bencana. Mari kita sosialisasikan buah pikiran Prof KH Ali Yafie ini untuk mencegah terjadinya bencana ekologis dengan ibda'bi nafsik, mulailah dari dirimu sendiri.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement