REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH – Juru bicara kepresidenan Palestina Nabil Abu Rudeineh mengatakan, Palestina merupakan anggota Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Oleh sebab itu setiap warga Palestina memiliki hak untuk menggugat Israel atas kejahatannya di wilayah pendudukan ke pengadilan yang berbasis di Den Haag, Belanda tersebut.
“Kami tidak akan membiarkan Israel lolos dari hukuman atas kejahatan berkelanjutan yang dilakukannya terhadap rakyat Palestina dan tempat suci Muslim dan Kristen mereka (di Yerusalem),” kata Rudeineh, Selasa (6/12/2022), dikutip laman kantor berita Palestina, WAFA.
Menurut dia, saat ini Israel masih menganggap dirinya berada di atas hukum. “Jika dunia ingin mencapai keamanan dan stabilitas di kawasan, maka ia harus membuat Israel bertanggung jawab atas pendudukan dan kejahatannya yang terus berlanjut,” ucap Rudeineh.
Pernyataan Rudeineh muncul setelah Perdana Menteri Israel Yair Lapid menyampaikan bahwa pemerintahannya tidak akan mengizinkan tentara atau aparat keamanannya diinterogasi. “Tidak ada yang akan menginterogasi tentara Pasukan Pertahanan Israel dan tidak ada yang akan menceramahi kami tentang memerangi moral, tentunya bukan jaringan Aljazeera,” tulis Lapid di akun Twitter resminya.
Komentar Lapid muncul setelah media Aljazirah membawa kasus pembunuhan jurnalisnya, Shireen Abu Akleh, ke ICC. Shireen tewas ditembak saat sedang meliput operasi penggerebekan pasukan Israel di Jenin, Tepi Barat, Mei lalu.
PBB turut menyelidiki insiden tewasnya Shireen dan merilis temuannya pada Juni lalu. Dalam laporannya PBB menyampaikan bahwa hasil penyelidikan mereka menunjukkan Shireen tewas akibat ditembak pasukan Israel.
Pekan lalu Yair Lapid telah meminta lebih dari 50 pemimpin negara agar mereka mencegah Palestina merujuk konflik Israel-Palestina ke Pengadilan Internasional atau International Court of Justice (ICJ) di Den Haag, Belanda. Lapid berpendapat, Palestina berusaha menyisihkan upaya negosiasi dengan langkah sepihak.
Dalam surat yang dikirim pada 28 November, Lapid mengatakan, kampanye Palestina, termasuk pemungutan suara di sebuah komite Majelis Umum PBB awal November lalu, merupakan upaya bersama untuk menyisihkan Israel serta mendiskreditkan masalah keamanan dan mendelegitmasi eksistensinya. Pada 11 November lalu, Komite Keempat Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi bertajuk “Israeli practices and settlement activities affecting the rights of the Palestinian people and other Arabs of the occupied territories”.
Sebanyak 98 negara menyetujui resolusi tersebut. Sementara 17 negara lainnya menentang dan 52 memilih abstain. Resolusi itu meminta ICJ segera memberikan pendapat penasihat tentang pendudukan, permukiman, dan aneksasi Israel yang berkepanjangan atas wilayah Palestina. Voting terhadap resolusi itu akan kembali dilakukan dalam sebuah sesi di sidang Majelis Umum PBB bulan ini.
“Saya mendorong negara-negara Anda untuk menggunakan pengaruh Anda pada Otoritas Palestina sehingga mereka tidak mempromosikan langkah berbahaya ini di Majelis Umum,” tulis Lapid dalam suratnya kepada lebih dari 50 pemimpin negara, dikutip laman Times of Israel.
“Jika Palestina terus mengabaikan permintaan ini dan resolusi ini dibawa ke pemungutan suara pada bulan Desember, saya berharap negara Anda akan memberikan suara menentangnya dan menyuarakan keprihatinan Anda yang jelas mengenai konsekuensi berbahayanya. Kami berharap teman-teman kami berdiri bersama kami,” kata Lapid.
Surat itu dikirim Lapid ke mitra Eropa di Israel, termasuk Inggris, Prancis, Kroasia, Rumania, Bulgaria, Belanda, Slovakia, Georgia, dan Latvia. Pemimpin Brasil, Uruguay, Peru, dan Vietnam turut menerima surat Lapid.