REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima 4.550 pengajuan restitusi para korban Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dari perkara 15 platform robot trading dan investasi ilegal. Data ini diperoleh sejak Maret-Desember 2022.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyampaikan maraknya kasus penipuan dan penggelapan berkedok investasi dan robot trading ini merupakan kejahatan terorganisir. Kejahatan ini dilakukan oleh pelaku lintas negara, menggunakan teknologi untuk membujuk, misalnya mengglorifikasi orang-orang tertentu sebagai bukti kesuksesan platform tersebut.
"Untuk itu, LPSK menekankan perlunya pengembalian kerugian korban yang berasal dari aset-aset hasil kejahatan," kata Edwin dalam paparannya pada Jumat (23/12).
Tercatat, permohonan restitusi ke LPSK dalam perkara investasi ilegal dan robot trading meliputi 15 platform meliputi Fahrenheit, Viralblast, Binomo, Quotex, Olymtrade, DNA Pro, KSP Indo Surya, Fikasa, Sunmod Alkes, Evotrade, Yagoal, ATG, FIN888, NET 89 dan KSP Sejahtera Bersama.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.063 permohonan yang telah dilakukan penghitungan oleh LPSK dengan jumlah total mencapai Rp. 1.963.967.880.292 atau Rp 1,9 triliun. Sisanya, sebanyak 487 permohonan tidak dapat dilakukan proses penghitungan karena tidak dapat memberikan data dukung atas kerugian, seperti pemohon dalam perkara Evotrade.
"Terdapat 6 perkara yang sudah mendapat putusan pada tingkat pertama (Fahrenheit, Viralblast, Binomo, Quote, Olymtrade, dan Evotrade), 4 dalam proses persidangan (DNA Pro, KSP Indo Surya, Fikasa, dan Sunmod Alkes) dan 5 dalam proses penyidikan (Yagoal, ATG, FIN 888, NET 89, dan KSP Sejahtera Bersama)," ucap Edwin.
Merespons tingginya angka permohonan restitusi pada kejahatan ini, LPSK membentuk 6 tim khusus. Tim bekerja mulai dari memeriksa kelengkapan formil, bukti dukung kerugian, memverifikasi klaim dan bukti, serta menentukan nilai kewajarannya. Dalam penanganan restitusi ini, LPSK berkoordinasi dengan Bareskim Polri dan Kejaksaan Agung.
"Koordinasi tersebut untuk mendapatkan informasi tentang penanganan perkara dan kerugian yang dialami korban. Koordinasi tersebut juga dimaksudkan agar restitusi dapat dimuat dalam tuntutan Jaksa," sebut Edwin.
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dinyatakan bahwa TPPU merupakan salah satu tindak pidana tertentu yang menjadi prioritas LPSK. Berdasarkan UU itu, korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi. LPSK memiliki kewenangan melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian restitusi (pasal 12A ayat 1 huruf j).
"Penilaian restitusi oleh LPSK ini tidak dipungut biaya," ujar Edwin.