Selasa 10 Jan 2023 17:06 WIB

Di Museum Masjid Al Jabbar, Pengunjung Bisa Simulasi Rasakan Langsung Isra Miraj

Konten diorama untuk kebutuhan pembangunan museum di Masjid Al Jabbar.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Foto udara suasana Masjid Raya Al Jabbar di Gedebage, Kota Bandung.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Foto udara suasana Masjid Raya Al Jabbar di Gedebage, Kota Bandung.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Masjid Al Jabbar terus menjadi sorotan publik. Sebuah proyek dengan nama 'Pembuatan Konten Masjid Raya Provinsi Jawa Barat' senilai Rp 20 miliar (setelah tender dilelang, nilainya menjadi Rp 14,5 miliar), disorot karena anggarannya dinilai terlalu besar untuk kebutuhan pembangunan masjid.

PT Sembilan Matahari sebagai pelaksana proyek konten Masjid Al Jabbar ini akhirnya buka suara soal anggaran tersebut. CEO PT Sembilan Matahari Adi Panuntun menjelaskan, konten yang dimaksud dalam tender yang dilelang bukan berupa konten untuk kebutuhan di media sosial. Tapi, berupa konten diorama untuk kebutuhan pembangunan museum di Masjid Al Jabbar.

“Jadi konten yang dimaksud itu bukan konten media sosial. Tapi, konten diorama yang kita create dengan memadukan multimedia, teknologi sampai ke existing interior yang ada di Masjid Al Jabbar,” ujar Adi saat memberikan keterangan kepada wartawan, Selasa (10/1/2023).

Adi mengatakan, pembangunan Museum Masjid Al Jabbar bukan perkara yang gampang. Karena, walaupun perusahaannya telah memiliki pengalaman membangun beberapa museum di Indonesia seperti museum Bank Indonesia, Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga museum Mahkamah Konstitusi, tapi museum Masjid Al Jabbar seluas 3 ribu meter persegi itu punya kerumitannya tersendiri.

"Misalnya Isra Miraj. Di museum, kita simulasikan dalam diorama bagaimana simulasi naiknya Nabi Muhammad SAW ke Sidratulmuntaha menggunakan instalasi video mapping yang dipadukan dengan beberapa interiornya," katanya.

Jadi, kata dia, pengunjung yang datang nanti bukan sekedar membaca sejarah dan melihatnya saja. Tapi bisa merasakannya secara langsung pengalaman sejarahnya.

Sebelum membuat museum, kata dia, pihaknya juga mematangkan kajian tentang sejarah penyebaran Islam di Indonesia hingga dunia. Kajian yang memakan waktu cukup lama itu kemudian ditransformasikan ke dalam video mapping supaya menjadi diorama yang realistis bagi pengunjung yang datang ke museum Masjid Al Jabbar.

“Konsep pendekatan kita dalam meng-create konten museum itu dengan experience design. Jadi mengutamakan visitor menjadi main target, enggak cuma melihat saja, tapi visitor bisa merasakan pengalamannya secara langsung dari sejarah-sejarah Islam di museum Masjid Al Jabbar,” paparnya.

Terkait polemik lelang proyek senilai Rp 14,5 miliar yang sempat mengalami gagal lelang selama 2 kali, lalu dilakukan penunjukan langsung kepada Sembilan Matahari untuk menggarap tender tersebut.

Adi menilai, tidak ada aturan yang dilanggar karena mekanismenya diatur dalam Perpres No 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia.

“Dan ini bukan kali pertama kami ngerjain museum proyek pemerintah. Nilai segitu juga bagi kami perhitungan RAB-nya logis, sudah sesuai dengan arahan LKPP, BPK dan PPK-nya. Hanya memang yang berhak menjelaskan itu dari PPK dinasnya yah. Tapi bagi kami, kami pastikan enggak ada masalah, enggak ada titipan atau hal yang perlu dicurigai dari proyek ini,” paparnya.

Tentang tudingan kedekatan Adi dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil melalui komunitas Bandung Creative City Forum (BCCF), Adi pun menyanggah semua hal itu. Karena, meskipun pernah berada dalam satu komunitas yang sama, khusus untuk tender konten museum, Ridwan Kamil bahkan baru mengetahui jika Sembilan Matahari yang menggarap proyeknya ketika proses pembangunan museum Masjid Al Jabbar sudah mencapai 50 persen.

“Jadi kalau saya mau sampaikan, memang tidak ada kedekatan dalam proyek ini apalagi sampai disebut titipan. Kang Emil itu baru tahu Sembilan Matahari pemenang lelang museumnya pada saat datang preview ke museum, itu di awal Desember pada saat museum sudah setengah jadi,” paparnya.

Selain itu, kata Adi, Sembilan Matahari merupakan perusahaan yang berdomisili di Kota Bandung. Sehingga ketika datang kesempatan kepada perusahaannya untuk membuat sebuah karya tersebut, ia turut terpanggil untuk membuat Kota Bandung, makin dikagumi banyak orang.

“Ini juga karena panggilan karena saya orang Bandung. Bukan karena BCCF, bukan juga karena saya dengan Kang Emil sama-sama kuliah di ITB, sekolah di SMA 3 Bandung sampai ke SMP 2 Bandung. Jadi kalau mengait-ngaitkan saya dengan itu, enggak ada kaitannya sama sekali,” papar Adi. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement