REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom, menyampaikan, atas nama gereja-gereja di Indonesia, sangat mengapresiasi pernyataan pers Presiden Jokowi hari ini terkait pelanggaran HAM berat di masa lalu. Ini sebuah langkah maju, bahkan lompatan besar pada proses penyelesaian pelanggaran HAM di Indonesia, yang selama puluhan tahun beberapa hal cenderung ditutupi bahkan disangkal adanya.
"Saya menghargai pengakuan dan penyesalan presiden. Meski tidak disertai permohonan maaf, hal ini menurut saya sudah sangat maju. Sesungguhnya dengan penyesalan itu, implisit di dalamnya sudah terkandung permohonan maaf," kata Pendeta Gomar melalui pesan tertulis kepada Republika, Rabu (11/1/2023).
Pendeta Gomar juga mengapresiasi penegasan Presiden Jokowi bahwa penyelesaian non yudisial ini tidak menegasikan penyelesaian secara hukum. Malah pengakuan ini bisa menjadi pintu masuk untuk proses hukum selanjutnya. Kini menjadi tugas seluruh elemen bangsa yang berkehendak baik untuk mengawal proses ini dengan kebih sungguh-sungguh.
"Pada kesempatan ini saya juga menyampaikan penghargaan kepada Tim PPHAM bentukan presiden yang bekerja cepat dalam perumusan masalah yang cukup pelik ini, sehingga presiden bisa tiba pada pengakuan di atas pada waktunya," ujarnya.
Sebagai tindak lanjut pernyataan ini, Pendeta Gomar mengusulkan dua hal. Pertama, perlunya penghapusan segera berbagai bentuk memorial maupun materi sejarah yang ada selama ini, yang bisa 2 sebagai pembelokan sejarah dan pengaburan fakta pelanggaran HAM yang terjadi. Kedua, perlunya memorialisasi atas pelanggaran HAM berat tersebut dalam bentuk statuta, sebagai peringatan kepada generasi berikut agar tidak terulang.
Sebelumnya, dalam siaran pers Presiden Jokowi mengakui ada kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia. Presiden Jokowi pun mengaku menyesal terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” kata Jokowi dalam keterangan pers yang disampaikan di Istana Merdeka, Rabu (11/1/2023).
Peristiwa pelanggaran HAM berat ini diakuinya setelah ia membaca laporan Tim PPHAM yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022.
Presiden Jokowi menyebut terdapat 12 kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia. Kasus pelanggaran HAM berat tersebut yakni peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari, Lampung 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Aceh 1989, peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, peristiwa Kerusuhan Mei 1998, dan peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999.
Selain itu ada pula peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999, peristiwa Wasior Papua 2001-2002, peristiwa Wamena, Papua 2003, dan peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.