REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Hakim Agung Prof Gayus Lumbuun menyatakan untuk memutuskan satu perkara, hakim terikat dengan Undang-Undang No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Demikian pula pada persidangan Ferdy Sambo dkk dalam kasus pembunuhan Brigadir J (Yoshua) yang hampir memasuki babak terakhir.
Hingga kini Ferdy Sambo dkk masih berupaya untuk menghindar dari jeratan hukuman mati dengan keterangan-keterangan yang disampaikan kepada majelis hakim dalam beberapa sidang terakhir di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Misalnya saja adanya pengakuan misbruik van recht atau penyimpangan pelaksanaan perintah atasan (dalam hal ini Ferdy Sambo) terhadap bawahan (dalam hal ini Bharada Richard Eliezer/Bharada E) yang disampaikan melalui kata ‘hajar Chad’ dan bukan ‘bunuh Chad’.
Sebaliknya, Bharada E berkilah bahwa pembunuhan yang dilakukan terhadap Brigadir J semata karena melaksanakan perintah dari atasannya dalam koridor tugas jabatan.
"Menyikapi berbagai keterangan yang nantinya mengerucut pada dakwaan dan tuntutan, hakim dipastikan terikat dengan UU nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 50 UU No 48 tahun 2009 tersebut diamanahkan agar hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan tiga kebenaran, yakni kebenaran yuridis, kebenaran sosiologis, dan kebenaran filosofis,” ujar Prof Gayus dalam keterangannya, Jumat (13/1/2023).
Prof Gayus mengakui saat ini yang berkembang di tengah masyarakat adalah adanya tuntutan keadilan sosial (social justice). Padahal yang ditentukan sebelum keadilan sosial adalah kebenarannya.
Oleh karena itu, lanjut Prof Gayus, untuk mengimbangi tuntutan keadilan sosial (social justice), haruslah ada legal justice. Legal justice wajib dijalankan oleh para hakim menyangkut tiga kebenaran, yakni kebenaran yuridis, sosiologis, dan filosofis. "Hal-hal yang mengemuka dalam beberapa proses persidangan adalah kebenaran sosiologis,” kata Guru Besar Universitas Krisnadwipayana (Unkris) tersebut.
Terkait dengan keterangan yang disampaikan oleh terdakwa Bharada E bahwa ia melakukan penembakan atas dasar perintah dari atasannya (Ferdy Sambo), Prof Gayus mengingatkan bahwa dalam Pasal 51 KUHP ayat (1) disebutkan barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, pelakunya tidak terkena pidana. Namun dalam keterangan ayat (2) disebutkan bahwa perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah mengira dengan iktikad baik bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
“Nah ini yang tidak pernah diungkapkan di pengadilan, baik oleh para ahli maupun para pihak. Padahal ini sangat esensial sekali bahwa kalau memerintah dan kalau perintah itu tidak sah maka yang mendapatkan perintah tidak bisa lepas dari pidana seperti disebutkan dalam Pasal 51 UU No 48/2009,” jelas Prof Gayus.
Dalam analisis kebenaran yuridis, Prof Gayus cenderung menggunakan Pasal 51 ayat (2) bahwa sekalipun Ferdy Sambo menggunakan perintah 'hajar' maupun 'tembak', itu merupakan perintah jabatan yang tidak sah dan tanpa wewenang. Sebab, tidak boleh atasan memberikan perintah seperti itu kepada bawahannya yang ditujukan kepada siapapun, apalagi sesama anggota Polri.
Risiko dari perintah yang tidak sah, sambung Gayus, merupakan penyalahgunaan hak. Jadi, pelaksanannya telah melanggar haknya (misbruik van recht) dengan menembak mati Brigadir J. Karena itu juga merugikan pemberi perintah.
Prof Gayus menganalogikan personel SWAT di Amerika Serikat, ketika latihan menembak. “Saat muncul gambar penjahat dia wajib menembak. Tapi saat muncul gambar sheriff, maka dia tidak akan menembak," jelas dia.
Mengapa ini menjadi sangat penting untuk dicermati? Menurut Prof Gayus ada dua hal yang bisa dikaitkan dengan persoalan tersebut. Pertama bahwa adanya narasi misbruik van recht atau hak dari pemilik perintah (dalam hal ini Ferdy Sambo) yang telah disimpangkan pelaksanaannya (dalam hal ini Bharada E) yang dibangun oleh Ferdy Sambo. Di mana dalam persidangan Ferdy Sambo tetap pada keterangannya tidak pernah melontarkan kata bunuh, tetapi hanya hajar.
Kedua, ditemukannya unsur perencanaan pembunuhan. Pada pasal 40 KUHP, perencanaan pembunuhan diancam hukuman mati. Ini juga terkait dengan dakwaan hukuman mati yang disampaikan jaksa penuntut umum (JPU) kepada terdakwa lainnya, Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf. Dalam dakwaan dikatakan perencanaan pembunuhan didasari pada pernyataan Putri Chandrawati (PC), istri Ferdy Sambo, yang mengaku dilecehkan oleh Brigadir J. Lantaran pernyataan PC tersebut, Ferdy Sambo marah dan menyusun rencana membunuh Brigadir J.
"Ini artinya ada perencanaan, ada strategi. Perencanaan itu didahului oleh satu hal yaitu adanya pemberitahuan dari istrinya terkait kasus pelecehan seksual. Ini adalah hal-hal kebenaran yuridis yang harus diungkap dengan utuh. Ini harus disampaikan,” tegas Prof Gayus.
Bisa dikatakan pemberitahuan dari PC bahwa telah terjadi kekerasan seksual sebagai dasar terjadinya perencanaan pembunuhan terhadap Brigadir J, seperti dakwaan JPU, harus diungkapkan karena bisa merupakan kebenaran materiil dan menjadi keadilan yang sejati.
Dalam rangkaian peristiwa yang terungkap di persidangan, lanjut Prof Gayus, JPU juga mengungkapkan bahwa Ricky Rizal sempat diminta oleh Ferdy Sambo untuk jadi eksekutor, tapi dengan alasan tidak kuat mental dia menolak. “Hal ini agar juga diungkapkan dengan jelas sehingga ada keadilan terhadap pasal 40 yang disebut perencanaan pembunuhan dengan hukuman terberat yaitu hukuman mati,” tegas Prof Gayus.
Demikian juga dengan narasi Ferdy Sambo yang menyebutkan bahwa rencana pembunuhan terhadap korban Brigadir J dilakukan secara spontanitas karena pada hari itu sejatinya ia ingin bermain bulu tangkis di Depok. Prof Gayus menilai, JPU punya tanggung jawab membuktikan hal tersebut.
"Pasal 340 KUHP tidak bisa dipahami secara letterlijk. Harus diterjemahkan di antaranya, adanya suatu dasar atau sebab dari suatu rencana pembunuhan. Jadi, Pasal 50 UU Kekuasaan Kehakiman itu perlu didalami sehingga publik mengetahui dan dapat memahaminya," kata Prof Gayus.
Prof Gayus juga menyampaikan apresiasinya terhadap tim hakim yang terjun mendatangi tempat kejadian perkara (TKP) dan mendengarkan saksi yang terikat perjanjian kerja sama dengan terdakwa (collabotar justice). “Apresiasi pada majelis hakim yang mengunjungi TKP, itu penting agar hakim lebih yakin untuk membangun keyakinan terhadap perkara yang ditangani, meski sebelumnya sudah ada rekonstruksi,” jelasnya.
Bagi Prof Gayus, sepanjang hakim berpegang pada tiga kebenaran yakni kebenaran yuridis, kebenaran sosiologis, dan kebenaran filosofis, maka tentu akan adil dalam membaca Pasal 340 KUHP dan dalam memberikan putusan. “Dari situ akan lahir analisis yang kuat, tidak hanya mendengar masukan dari publik (social justice), tapi juga memiliki legal justice,” tegas dia.
Prof Gayus mengingatkan bahwa dalam setiap peristiwa hukum, sebenarnya ada tiga pihak yang dirugikan yakni pelaku sendiri, korban, juga negara karena panjangnya proses pengadilan yang digelar. "Jadi ini pembelajaran buat dunia peradilan karena hasilnya akan membuat masyarakat makin sadar hukum, para petugas juga tidak dengan mudah mendapatkan perintah dari atasan yang menyalahi aturan hukum, juga sebaliknya atasan tidak sewenang-wenang memerintah pada bawahan hal-hal yang melanggar hukum," kata dia menandaskan.