Jumat 08 Jun 2012 11:42 WIB

Masa Depan Indonesiaku Sepanjang Batang Rokok

Red: Heri Ruslan
Petugas KAI memasang pengumuman dilarang merokok di seluruh gerbong di kereta api di sebuah stasiun
Foto: blogger-indonesia.com
Petugas KAI memasang pengumuman dilarang merokok di seluruh gerbong di kereta api di sebuah stasiun

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fitri Amalia

(Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Koordinator Tobacco Control Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat 2012-2013)

Rokok dan Indonesia seolah-olah sudah menjadi soulmate sampai-sampai Indonesia mendapat julukan Surganya Perokok.

Bagaimana tidak? Dekade ini siapa yang tidak kenal rokok, kalangan usia mana yang tidak merokok? Fenomena Aldi dari Musi Banyuasin, Sandi dari Malang sampai Ilham dari Sukabumi adalah secuplik balita-balita yang mengganti susu formulanya dengan sebatang rokok.

Bahkan terjadi peperangan sengit di negeri ini tanpa kita sadari karena rokok. Mulai dari payung regulasi yang terbesar terkait pengendalian tembakau yakni FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) yang sampai sekarang belum diratifikasi, sedangkan Timor Timur sebagai  salah satu negara yang pernah menjadi bagian Indonesia sudah meratifikasi FCTC, RUU tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan yang sekarang nasibnya diendapkan dan tidak masuk dalam prolegnas 2012 dan yang terakhir adalah RPP Pengendalian Tembakau yang merupakan mandat dari UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 ‘gag’ kelar-kelar sudah hampir 3 tahun.

Ketiga payung yang melindungi rakyat tersebut sangat alot untuk bisa dicerna dan segera difungsikan. Padahal sederetan fakta yang menghujani negeri kita terkait bahaya rokok semakin deras.

Namun, tetap saja pemerintahan kita tidak bergeming dan membiarkan dirinya basah oleh hujan fakta tersebut. Ironi. Kabut tipu daya dan kebohongan industri rokok semakin tebal dan berubah menjadi sebuah kedigdayaan yang nyata oleh industri rokok di Indonesiaku ini.

Asap Rokok Belenggu Kita Semua

Kalau hipnosis hanya bisa dilakukan pada subjek yang telah bersedia menerima sugesti, asap rokok dan empunya, yakni industri rokok jauh lebih hebat. Mereka mampu memperdaya tanpa seijin subjek sasaran. Rokok dapat membuat seseorang tidak dapat berhenti untuk mengkonsumsinya karena memang tembakau bersifat adiktif. Belum lagi industri rokok adalah raksasa yang selalu ingin menjajah Indonesia dengan topeng malaikat.

Ya, industri rokok adalah cerobong segala jenis polusi. Asap rokok polusi udara, billboard, media cetak dan televisi yang menjadi media promosi rokok tidak lebih hanya menjadi polusi visual.

Asap rokok membelenggu siapapun tanpa memandang usia dan latar belakang subjek sasaran. Bahkan fenomena balita ajaib makin bertebaran dan banyak disorot oleh media, baik itu media dalam negeri maupun luar negeri. Noor Atikah, gadis manis yang meninggal secara tragis dalam usia muda karena menjadi perokok pasif.

Padahal dalam QS. Annisa ayat 9 disebutkan bahwa, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.

Jika dipahami dengan baik, ayat ini bukan hanya menjadi dasar hukum Keluarga Berencana, namun juga untuk perilaku merokok. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa perilaku merokok orang tua berkorelasi positif sebagai salah satu faktor risiko remaja untuk merokok, salah satunya ada pada buku Peter Boyle et.al bertajuk Tobacco and Public Health: Science and Policy.

Tapi hujan fakta ini tak kunjung berubah menjadi sebuah tamparan bagi pemerintahan. Terbukti dengan belum diberlakukannya payung regulasi yang nantinya akan melindungi derajat kesehatan masyarakat. Akhirnya fakta ini hanya menjadi tamparan bagi kami, para aktifis pengendalian tembakau. Masya Allah..

Silent War dan Devide et Impera

Yang terjadi di Indonesia adalah silent war, terlebih industri rokok menerapkan politik devide et impera. Politik pecah belah yang dipraktekkan oleh industri rokok ini, untuk memecah belah rakyat serta pemerintahan.

Rakyat menjadi ragu untuk mengatakan bahwa rokok itu berbahaya, pemerintah menjadi lalai akan amanahnya dan berbuat adil terhadap rakyat, membela kepentingan rakyat. Peperangan yang seharusnya terjadi antara industri rokok, nyatanya justru terbalik.

Peperangan ini terjadi antara sekelompok orang yang melek akan kedigdayaan industri rokok dan industri rokok itu sendiri. Bahkan dengan politik devide et impera mampu membuat korban perang (dalam hal ini konsumen rokok) menyerang para pejuang yang hakikatnya membela mereka. Baru dua tahun saya menggeluti isu pengendalian tembakau, dua hal pula yang saya pahami tentang mata dari rantai permasalahan rokok ini. Yakni kurangnya edukasi kepada masyarakat tentang fakta-fakta terkait rokok dan industri rokok dan kedua, belum adanya political will dari pemerintah Indonesia untuk tegas terkait isu pengendalian tembakau ini.

Rakyat Indonesia telah lama tersihir oleh ‘pesona’ industri rokok dengan politik tebus dosa industri yakni memberikan beasiswa pendidikan, olahraga dan berbagai program CSR, tertipu dengan adanya mitos-mitos yang membingungkan.

Misal, kalau regulasi FCTC, RUU dan RPP disahkan maka akan merugikan petani tembakau, buruh pabrik dan negara. Industri rokok berjasa kepada negara melalui cukai rokok, merokok adalah  hak asasi yang tidak bisa diganggu gugat. Semua hanya omong kosong belaka.

Harus lebih banyak lagi pejuang-pejuang yang mengaku cinta tanah air untuk membuka mata rakyat negeriku ini.  Fakta dari mitos-mitos tersebut, terkait petani tembakau, mereka tidak akan rugi dengan adanya regulasi pengendalian tembakau, karena berdasarkan hasil observasi yang pernah saya lakukan di sebuah perkampungan petani tembakau di kota Jember bahwa tidak ada satupun petani tembakau yang murni. Di antara mereka pasti menanam jagung, tomat atau lombok. Salah satu petani tembakau yang juga guru matematika mengatakan bahwa,

Pernyataan tersebut cukup menggambarkan bahwa menanam tembakau bukanlah segalanya, terlebih ternyata Indonesia banyak mengimpor tembakau dari China, Amerika bahkan dari negara yang tidak punya lahan pertanian sekalipun seperti Singapura, dan masih banyak lagi.

Terkait cukai rokok, cukai rokok yang membayar adalah konsumen rokok. Memang dengan menaikkan harga rokok akan membuat rakyat miskin tidak bisa membeli rokok. Namun, hal ini justru menguntungkan rakyat miskin karena orang miskin dapat mengalihkan uangnya untuk membeli hal lain yang berguna bagi anak dan keluarganya.

Sekitar 12 persen pengeluaran keluarga miskin untuk rokok, padahal untuk daging, telur dan susu hanya 3%. Merokok bukanlah hak asasi manusia. Karena orang yang merokok berada di bawah candu.

Seseorang yang berada dibawah candu sudah tidak bisa menentukan mana yang menjadi kebutuhan dasar mana yang bukan. Sehingga perokok adalah korban ketidak berdayaan melawan nikotin.

Tipu daya dan kedigdayaan industri rokok dapat dimusnahkan di negeriku ini jika pemerintah memiliki political will dan tegas terkait payung-payung regulasi pengendalian tembakau ini. Namun, sayangnya harapan ini abu-abu dan berupa kabut belaka.

Bahkan saat Komnas Pengendalian Tembakau dan beberapa aktifis pengendalian tembakau melakukan audiensi dengan Presiden SBY, salah satu statement orang nomor satu di Indonesia itu bahwa ,

Dari tahun 2011 semenjak audiensi itu ternyata masih belum ada kejelasan terhadap RPP sekalipun. So, hanya omong kosong belaka. Dua kali saya sebagai mahasiswa memperingati momentum Hari Tanpa Tembakau Sedunia sejak tahun 2010, masih dengan mengusung isu RPP Pengendalian tembakau, namun belum juga ada kejelasan.

Mulai dari aksi di depan kementerian kesehatan hingga audiensi dengan biro hukum kementerian kesehatan, Budi Sampurna. Kabar terakhir Menkokesra dan Menkoekuin telah menetapkan dalam RPP agar pada bungkus rokok dicantumkan 40 persen gambar peringatan bahaya rokok.

Namun, masih belum jelas juga kapan RPP tersebut dibawa ke Sekab. Saat kita, para aktivis tembakau hendak berteriak secara lantang agar pemerintah segera mengesahkan aturan tersebut, pihak oponen menggembar-gemborkan isu, bahwa kita mematikan budaya Indonesia, yakni rokok kretek. Salah satu tanggapan dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta menjawab pertanyaan apakah rokok kretek adalah budaya bangsa,

Semakin jelas bahwa selalu ada cara dari industri rokok untuk meloyalkan konsumen agar berada disisi industri rokok apapun yang terjadi. Para konsumen yang notabene hanyalah korban dari kedigdayaan industri rokok.

Isu pengendalian tembakau ini bukan hanya soal kesehatan, namun sarat akan isu politik. Akar dari semua permasalahan bejatnya pemerintahan kita, karena keengganan mereka untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam dunia politik. Dalam ungkapan Syaikh Hasan Al Banna, seandainya pak Beye dan jajarannya menanamkan nilai-nilai Islam dalam setiap lini kehidupan. Sedemikian jelas mudharat dari rokok, namun masih saja belum ada tindak lanjut dari para pengemban amanah negeri ini.

 

Beberapa permasalahan di atas, balita perokok, korban rokok mati akibat terpapar asap rokok (perokok pasif), regulasi yang melindungi rakyat yang masih ngadat, political will yang tak kunjung tercipta karena tidak menanamkan nilai-nilai Islam dalam setiap lini kehidupan membuat saya tidak bisa tinggal diam di medan perang ini. Saya tidak bisa tinggal diam melihat negeriku ini hancur perlahan dalam penjajahan.

Menjadi salah satu alasan saya untuk mengikuti pelatihan jurnalistik ini, menjadi sebuah alternatif solusi agar masyarakat bisa ’melek’ dari tidurnya yang panjang, bangun dari mimpi-mimpi indah yang dijanjikan industri rokok, yang sebenarnya berujung pada sebuah bencana, dengan menuliskan artikel-artikel yang dapat memperkaya wawasan mereka terkait kedigdayaan industri rokok.

Memberikan edukasi kepada masyarakat terkait fakta dibalik mitos. Melalui tulisan yang baik, dapat melakukan korespondensi dengan pemangku kebijakan dan memberikan tekanan kepada pemerintahan untuk selalu bersikap adil dan sehingga dapat memahami bahwa Islam adalah sebuah sistem universal yang mencakup seluruh aspek kehidupan.

Sehingga kita semua satu perspektif dan satu kata terkait permasalahan rokok ini. Indonesia menjadi negara yang sehat, merdeka karena terbebas dari asap rokok dan industri rokok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement