REPUBLIKA.CO.ID,Dua tahun yang lalu aku ditugaskan di sebuah Puskesmas di Pulau Laut, tepatnya di Kecamatan Pulau Laut Tengah, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Karena lingkungan sekitar Puskesmas itu sepi, aku tinggal di Kecamatan Pulau Laut Utara, di ibu kota Kabupaten. Hal ini membuatku harus bolak-balik antara Puskesmas tempatku bekerja dan tempat tinggalku di kota, setiap Senin sampai dengan Sabtu.
Aku pergi ke tempat kerja dan pulang bekerja dengan menumpang motor teman kerjaku -Murni, seorang perawat, dan aku memakai helm pinjaman. Lama-lama aku merasa tak enak karena terus meminjam helm. Kuputuskan untuk memiliki helm sendiri.
Suatu hari, sepulang bekerja, aku minta diantar temanku itu, untuk membeli helm. Mampirlah kami di kios kecil yang terlihat memasang helm jualan. Di antara beberapa helm yang terpampang, pandanganku langsung tertuju pada helm berwarna merah polos bertutup muka transparan, dan ada tulisan KYT di bagian dahinya. Aku suka. Kucoba helm itu, pas sekali ukurannya dengan kepalaku. Aku membelinya. Senang rasanya aku mempunyai helm sendiri.
Sejak saat itu, helm itu kupakai jika menaiki motor. Aku tetap menjadi penumpang karena aku belum bisa mengendarai motor. Jarak tempatku tinggal di kota dengan tempatku bekerja, cukup jauh, sekitar 40 kilometer. Jalan Kabupaten itu adalah jalan raya dari ibukota kabupaten menuju pelabuhan ferry. Jalannya sudah beraspal tetapi ada bagian yang rusak dan berbatu. Juga banyak truk dan kendaraan besar yang kutemui di sepanjang perjalanan. Helm itu membantu melindungi kepala dan wajahku dari terpaan angin, debu, asap kendaraan dan hujan. Berguna sekali.
Jika sempat, aku bersihkan sendiri helm itu dengan kain halus, tak lupa busa pelapis bagian dalamnya kulepas dan kucuci. Ternyata mudah saja membersihkannya. Kuperhatikan dan kuperiksa helm itu. Bagian luarnya tak ada goresan berarti, kecuali sedikit "luka" bekas hantaman batu yang melayang di jalanan. Jika tak kupakai, helm itu kumasukkan ke dalam kantongnya yang berwarna hitam berlogo KYT, lalu kusimpan di atas lemari.
Tujuh bulan kemudian aku dipindahtugaskan ke Puskesmas di Kecamatan Pulau Laut Barat. Tempatnya lebih jauh dari kota, sekitar 70 kilometer jaraknya dari Puskesmas sebelumnya. Sehingga tak mungkin lagi aku menempuhnya pergi-pulang dengan motor lagi dari tempat tinggalku saat itu. Aku pun pindah. Helm itu kubawa serta.
Di tempat baru ini aku tidak perlu memakai kendaraan untuk menuju tempat kerja, karena aku menempati rumah dinas di dekat Puskesmas. Cukup berjalan dua menit saja sudah sampai. Helm-ku menganggur. Sesekali saja kupakai atau dipinjam teman sekerjaku.
Di tempat baru ini, aku berkesempatan untuk belajar mengendarai motor. Temanku, seorang bidan, Bia namanya, membantuku. Ia yang menjadi instruktur. Aku sering dipaksa menyetir motor di jalan, ke desa-desa atau ke pantai, sampai akhirnya aku bisa. Helm-ku kupakai lagi saat berlibur ke kota bersama Bia. Dan itu adalah kali terakhir aku memakainya.
Di Kecamatan ini aku hanya menetap lima bulan. Menjelang masa berakhirnya masa dinasku, aku menawarkan barang-barang yang tak akan kubawa pulang, kepada teman-temanku di sana. Helm-ku ada yang tertarik dan ia ingin membelinya, tetapi aku tidak menjualnya.
Di hari-hari mendekati kepulanganku, aku berikan helm itu kepada Bia, sebagai kenang-kenangan untuknya yang telah membantu aku belajar mengendarai motor. Ia gembira sekali menerimanya, dan berulang-ulang mengucapkan terima kasih . Aku pun senang melihatnya gembira mendapatkan helm itu.
Kini helm itu sudah tak pernah kulihat lagi. Semoga helm itu bermanfaat di sana...
Penulis: Santy (Pemenang II Lomba Penulisan Helm KYT)