Jumat 20 Jan 2023 12:53 WIB

Bangladesh Minta Dunia Tekan Myanmar untuk Repatriasi Pengungsi Rohingya

Dikhawatirkan pengungsi Rohingya yang melarikan diri akan meningkat

Rep: Fergi Nadira B/ Red: Esthi Maharani
Pengungsi Rohingya berkumpul untuk memperingati lima tahun eksodus mereka dari Myanmar ke Bangladesh, di sebuah kamp pengungsi Rohingya Kutupalong di Ukhiya di distrik Cox
Foto: AP Photo/ Shafiqur Rahman
Pengungsi Rohingya berkumpul untuk memperingati lima tahun eksodus mereka dari Myanmar ke Bangladesh, di sebuah kamp pengungsi Rohingya Kutupalong di Ukhiya di distrik Cox

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Pemerintah Bangladesh kembali menekan internasional untuk pemulangan pengungsi etnis Rohingya ke Myanmar. Hal ini ditekankan di tengah kekhawatiran meningkatnya para pengungsi yang melarikan diri melalui perjalanan laut dengan perahu.

Terlepas dari berbagai upaya oleh otoritas Bangladesh, program yang didukung PBB untuk repatriasi atau pemukiman kembali ke negara ketiga gagal berjalan. Pejabat menilai hal ini justru memicu krisis yang berkembang.

Baca Juga

"Pemulangan Rohingya adalah satu-satunya solusi untuk krisis ini. Tidak ada alternatif," ujar komisaris bantuan pengungsi dan repatriasi di Cox’s Bazar, Mizanur Rahman seperti dilansir laman Arab News, Kamis (19/1/2023).

"Seruan kami kepada komunitas internasional adalah untuk lebih menekan pemerintah Myanmar agar mengambil kembali rakyatnya secepat mungkin dengan menciptakan lingkungan yang kondusif di negara bagian Rakhine," ujarnya menambahkan.

Rahman mengatakan, jumlah pengungsi yang melakukan perjalanan laut berbahaya untuk mencari kehidupan yang lebih baik kemungkinan akan terus meningkat mengingat situasinya. Sementara banyak pengungsi etnis Rohingya terus melarikan diri dari Myanmar, mereka yang menemukan perlindungan di Bangladesh kemudian pergi mencari kondisi kehidupan yang lebih baik.

Lebih dari 1,2 juta etnis Rohingya tinggal di kamp-kamp kumuh Bangladesh, kebanyakan di distrik Cox's Bazar. Kamp itu berada di wilayah pesisir dan menjadi pemukiman pengungsi terbesar di dunia.

Kondisi di kamp-kamp memburuk di tengah penurunan bantuan internasional untuk pengungsi sejak 2020. Bangladesh sedang berjuang mengatasi pemulihan ekonominya. Negara tersebut adalah negara berkembang yang menghadapi berbagai tantangan pasca-pandemi dan menghabiskan sekitar 1,2 miliar dolar AS per tahun untuk menampung Rohingya.

Sementara itu, Badan Pengungsi PBB (UNHCR) telah menyerukan tanggung jawab kemanusiaan di wilayah tersebut untuk mendistribusikan Rohingya secara merata di berbagai negara. "Krisis saat ini di Teluk Benggala dan Laut Andaman adalah krisis solidaritas,” kata juru bicara UNHCR Shabia Mantoo, Selasa lalu.

"Kawasan dan komunitas internasional perlu mendukung upaya mengatasi akar penyebab pengungsian di Myanmar. Sampai ini diselesaikan, pengungsi akan terus melakukan perjalanan berbahaya untuk mencari keselamatan," imbuhnya.

Data UNHCR menunjukkan bahwa jumlah Rohingya yang mencoba menyeberangi Laut Andaman dan Teluk Benggala telah mengalami lonjakan empat kali lipat. Lebih dari 3.500 orang berusaha menyeberangi perairan sepanjang 2022, dibandingkan dengan 770 tahun sebelumnya.

UNHCR juga telah mencatat peningkatan jumlah kematian yang mengkhawatirkan. Lebih dari 340 Rohingya meninggal atau hilang di laut pada 2022.

Ini pun menjadikan salah satu tahun paling mematikan bagi etnis Rohingya sejak 2017, ketika ratusan ribu Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dari tindakan keras militer yang mematikan di negara bagian Rakhine Myanmar. UNHCR mengatakn, sebagian besar kapal Rohingya di Laut Andaman dan Teluk Benggala berangkat dari Myanmar dan Bangladesh. Para pengungsi di Myanmar maupun Bangladesh merasa sangat putus asa sehingga nekat melakukn perjalanan laut

"Mereka yang turun melaporkan bahwa mereka melakukan perjalanan laut yang berbahaya ini dalam upaya mencari perlindungan, keamanan, reunifikasi keluarga, dan mata pencaharian di negara lain," kata Mantoo.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement