REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Puluhan ribu warga Israel berdemonstrasi selama lima pekan berturut-turut hingga pekan kelima hari ini. Mereka menentang rencana reformasi peradilan oleh pemerintah sayap kanan baru Benjamin Netanyahu, yang menurut para kritikus mengancam demokrasi.
Rencana tersebut telah menarik tentangan keras dari kelompok kiri, dan menimbulkan kekhawatiran di antara para pemimpin bisnis, memperluas perpecahan politik yang sudah mendalam di masyarakat Israel. Namun Netanyahu meremehkan protes tersebut sebagai penolakan oleh lawan sayap kiri untuk menerima hasil pemilihan terakhir, yang menghasilkan salah satu pemerintahan paling kanan dalam sejarah Israel.
Para pengunjuk rasa mengatakan jika pemerintah melanjutkan rencana reformasi peradilan, 'demokrasi Israel' akan dirusak yang akan membatasi kekuasaan Mahkamah Agung untuk membatalkan keputusan pemerintah atau undang-undang Knesset, parlemen Israel.
Pemimpin oposisi Yair Lapid bergabung dalam demonstrasi di Haifa, sementara mantan menteri militer Benny Gantz bergabung dalam protes di Yerusalem yang diduduki. Bulan lalu, Yariv Levin, menteri kehakiman di pemerintahan sayap kanan Benjamin Netanyahu, mengumumkan rencana untuk menyerahkan lebih banyak kekuasaan kepada anggota parlemen dalam menunjuk hakim dan mengesampingkan keputusan Mahkamah Agung.
Kritikus percaya reformasi yang dibawal Levin akan melumpuhkan independensi peradilan, mendorong korupsi, mengatur dan memperketat kembali hak-hak minoritas dan membahayakan kredibilitas sistem pengadilan. Di antara mereka yang menentang adalah ketua Mahkamah Agung dan jaksa agung negara itu, sementara para kritikus mengatakan Mahkamah Agung terlalu menjangkau dan tidak mewakili pemilih.
Gerakan Bendera Hitam anti-Netanyahu mengatakan awal bulan ini, Netanyahu mendorong reformasi untuk menghindari kemungkinan dampak dari persidangan korupsi yang sedang berlangsung, dengan mengatakan dia menghancurkan institusi demokrasi dengan merusak sistem peradilan dan berkampanye melawan hakim pengadilan tinggi.