Senin 06 Feb 2023 11:47 WIB

Balon Mata-Mata Digunakan Sejak Perang Dunia Kedua

Selama Perang Dunia Kedua, Jepang meluncurkan ribuan balon hidrogen yang membawa bom.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Nidia Zuraya
Sebuah balon pengintai milik China yang dicurigai ditembak jatuh melayang di atas wilayah Samudra Atlantik di lepas pantai Carolina Selatan, Sabtu, (4/2/2023). REUTERS/Randall Hill
Foto: REUTERS/Randall Hill
Sebuah balon pengintai milik China yang dicurigai ditembak jatuh melayang di atas wilayah Samudra Atlantik di lepas pantai Carolina Selatan, Sabtu, (4/2/2023). REUTERS/Randall Hill

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Balon mata-mata bukanlah hal baru. Balon mata-mata sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, dan lebih banyak digunakan dalam Perang Dunia Kedua.

Selama Perang Dunia Kedua, Jepang meluncurkan ribuan balon hidrogen yang membawa bom. Ratusan balon yang membawa bom itu meledak di Amerika Serikat (AS) dan Kanada.  Sebagian besar ledakan dari balon itu tidak efektif, tetapi ada satu yang mematikan.  

Baca Juga

Pada Mei 1945, enam warga sipil tewas ketika mereka menemukan salah satu balon pembawa bom di Oregon.Menurut dokumen dan penelitian militer, AS mulai menggunakan rangkaian balon, serta sensor raksasa yang dirangkai dan direntangkan lebih dari 600 kaki sebagai bagian dari upaya awal untuk mendeteksi peluncuran rudal Soviet selama era pasca-Perang Dunia Kedua Mereka menyebutnya sebagai Proyek Mogul.

Salah satu rangkaian balon mendarat darurat di Roswell Army Airfield pada 1947. Personel Angkatan Udara yang tidak mengetahui program tersebut menemukan puing-puing balon itu. Balon mata-mata ini menjadi peralatan eksperimental yang tidak biasa, sehingga membuatnya sulit untuk diidentifikasi, dan meninggalkan para penerbang dengan pertanyaan yang tidak terjawab dari waktu ke waktu. Menurut laporan militer, balon Proyek Mogul itu diluncurkan di atas Pegunungan Sacramento.

Pentagon dan pejabat Amerika Serikat (AS) lainnya mengatakan, balon mata-mata China yang terbang di wilayah udara Amerika  seukuran tiga bus sekolah. Balon itu bergerak ke wilayah timur di atas zona udara Amerika pada ketinggian sekitar 60.000 kaki atau 18.600 meter.

Pejabat pertahanan dan militer AS pada Sabtu (3/2/2023) mengatakan, balon itu memasuki zona pertahanan udara AS di utara Kepulauan Aleutian pada 28 Januari dan pindah ke daratan melintasi Alaska.

Balon itu kemudian masuk ke wilayah udara Kanada di Wilayah Barat Laut pada 30 Januari. Keesokan harinya, balon itu menyeberang kembali ke AS melalui wilayah di atas Idaho utara.  

Gedung Putih mengatakan, Presiden Joe Biden pertama kali mendapatkan pemberitahuan tentang balon itu pada Selasa (31/1/2023). Departemen Luar Negeri mengatakan, Menteri Luar Negeri Antony Blinken dan Wakil Menteri Luar Negeri Wendy Sherman berbicara dengan pejabat senior China yang berbasis di Washington pada Rabu (1/2/2023) malam tentang masalah tersebut.

Juru bicara Pentagon, Brigjen Pat Ryder pada Kamis (2/2/2023) malam menyatakan bahwa balon itu bukan ancaman militer atau fisik. Dia mengatakan, setelah balon terdeteksi, pemerintah AS segera bertindak untuk melindungi dari pengumpulan informasi sensitif.

Seorang pensiunan Jenderal Angkatan Darat, John Ferrari, mengatakan,  jika balon itu tidak dipersenjatai, maka tetap menimbulkan risiko bagi AS. Menurutnya, penerbangan balon itu dapat digunakan untuk menguji kemampuan Amerika dalam mendeteksi ancaman yang masuk dan menemukan lubang di sistem peringatan pertahanan udara negara tersebut.  

"Ini memungkinkan China untuk merasakan emisi elektromagnetik yang tidak dapat dideteksi oleh satelit di ketinggian yang lebih tinggi, seperti frekuensi radio berdaya rendah yang dapat membantu mereka memahami betapa berbedanya sistem senjata berkomunikasi AS," kata Ferrari.

Pada Rabu (1/2/2023) saat balon melayang di atas Montana, Biden memberi wewenang kepada militer untuk menembak jatuh balon itu segera setelah berada di lokasi yang tidak akan menimbulkan risiko bagi warga sipil.  Karena ukuran dan ketinggiannya yang sangat besar, bidang puing-puing balon itu diperkirakan akan membentang sejauh bermil-mil.  Jadi, para pemimpin militer dan pertahanan tertinggi menyarankan Biden untuk tidak menembaknya di darat.

Pada Sabtu sekitar pukul 14:39 waktu setempat, saat balon terbang di sekitar 6 mil laut lepas pantai Carolina Selatan, satu jet tempur F-22 dari Pangkalan Angkatan Udara Langley Virginia  terbang di ketinggian 58.000 kaki. Jet itu menembakkan Sidewinder AIM-9X ke balon tersebut. 

Sidewinder adalah rudal jarak pendek yang digunakan oleh Angkatan Laut dan Angkatan Udara untuk pertempuran udara-ke-udara. Rudal tersebut memiliki panjang sekitar 10 kaki dan berat sekitar 200 pound. Balon mulai jatuh ke Atlantik.

F-22 didukung oleh berbagai jet tempur dan tanker Angkatan Udara dan Garda Nasional, termasuk F-15 dari Massachusetts dan pesawat tanker dari Oregon, Montana, Massachusetts, South Carolina dan North Carolina.  Semua pilot kembali dengan selamat ke pangkalan dan tidak ada cedera atau kerusakan lain di darat. Pejabat Amerika Serikat (AS) pada Sabtu (4/2/2023) mengatakan, balon mata-mata China yang serupa pernah transit sebentar di benua Amerika Serikat setidaknya tiga kali selama pemerintahan mantan presiden Donald Trump.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement