REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Jurnalis Republika dan Mantan Anggota Media Center Haji (MCH) Kemenag 2011.
Ketika mendengar wacana Badan Pengelola Keungan Haji (MCH) yang ingin menghapus penyediaan makanan bagi jamaah haji melalui cara katering atau tidak memasak sendiri, diganti dengan uang agar jamaah bisa bebas membeli makanan. Hal ini jelas memerihkan sekaligus mengkhawatirkan. Memerihkan karena bagi jamaah akan berpotensi besar membahayakan kesehatannya, bagi petugas haji ini akan menimbulkan masalah bagi kualitas layanan haji secara menyeluruh.
Sekilas memang terkesan menghemat. Ongkos haji menjadi ditekan.Tapi di sisi lain banyak hal yang terancam. Yang paling utama adalah soal jaminan kesehatan jamaah. Bila makanan bagi jamaah dihapuskan karena selama ini mendapat asupan makanan melalui katering secara rutin setiap hari, maka mereka pasti akan memenuhi kebutuhan makananya dengan cara membeli di warung-warung di seputaran tempat tinggalnya di Makkah.
Maka dalam situasi ini, pasti akan muncul warung-warung makanan yang tidak bisa dikontrol kualitas makanannya. Saya tidak dapat membayangkan bila saat itu muncul warung kaki lima baik secara sembunyi-sembunyi maupun resmi. Mereka tersebar di pinggiran jalan yang penuh debu yang mengepul memenuhi udara kota Makkah.
Belum lagi, setiap memasuki musim haji, ketika jamaah mulai berdatangan, ‘pasukan’ lalat mulai bermunculan. Dapat dipastikan saat itu terjadi ancaman serius bagi jamah haji yang berasal dari makanan. Saya teringat, pada musim haji 2011, ketika lalu lalang berjalan kaki dari Masjidil Haram ke lokasi kantor Daker Makkah yang berada kawasan yang tak jauh dari Mina, di sepanjang pinggiran jalan yang jaraknya sekitar enam kilometer, bermunculan warung kaki lima aneka makanan Indonesia. Mereka meggelar dagangannya dengan cara ditaruh begitu saja di tempat terbuka. Pemilik dagangan warung itu adalah para pekerka migran dari Indonesia yang memang jumlahnya banyak sekali di Makkah.