REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Satryo Soemantri Brodjonegori mengatakan, terdapat beberapa isu regional yang menjadi tantangan bagi Indonesia sebagai ketua ASEAN tahun ini. Dua di antara isu tersebut terkait krisis Myanmar dan persengketaan Laut Cina Selatan.
Satryo menjelaskan, mengatasi instabilitas politik di Myanmar membutuhkan pendekatan komprehensif yang turut mempertimbangkan aspek historis dan berbagai konflik berbasis etnis di negara tersebut. Menurutnya, kudeta yang dilakukan militer Myanmar pada Februari 2021 memperparah keadaan di sana. Aksi perebutan kekuasaan itu pun merepresentasikan kemunduran dari upaya negosiasi dan perjuangan hak asasi manusia (HAM) di Asia Tenggara.
“Indonesia memiliki peran sangat penting dalam menjamin komitmen di antara pihak-pihak terkait dalam krisis Myanmar untuk mengimplementasikan Lima Poin Konsensus dan menunjuk utusan khusus untuk Myanmar yang baru,” kata Satryo saat membuka seminar bertajuk “Kajian Prioritas Kepemimpinan Indonesia di ASEAN dalam Bidang Politik dan Keamanan” yang digelar AIPI bersama The Habibie Center (THC), Rabu (8/2/2023).
Kemudian terkait persengketaan di Laut China Selatan, Satryo mengatakan, Indonesia, sebagai ketua ASEAN tahun ini, harus memastikan keberlanjutan negosiasi tentang kode tata perilaku atau Code of Conduct (CoC). “Selain diperlukan komitmen dari para pihak, Indonesia perlu menekankan pentingnya implementasi sentralitas ASEAN secara lebih efektif yang akan berpengaruh besar dalam kemajuan penyusunan CoC,” ujarnya.
Satryo berpendapat, keterlibatan aktif Indonesia juga akan disorot dalam merespons isu-isu geopolitik, terutama dalam merespons dinamika dan rivalitas AS dan Cina serta peran ASEAN di Indo-Pasifik. “Termasuk sensitivitas ASEAN terhadap potensi hadirnya kompetisi antar-negara adidaya di Asia Tenggara,” ucapnya.
Menurutnya, Indonesia perlu menjelaskan karakter inklusif dan konstruksi Indo-Pasisik yang diteruskan oleh ASEAN melalui ASEAN Outlook on the Indo-Pasific (AOIP). Terkait isu Myanmar yang disinggung Satryo, sebelumnya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, rencana implementasi Lima Poin Konsensus yang diusulkan Indonesia untuk menangani situasi di Myanmar memperoleh dukungan dari semua anggota ASEAN. Retno menilai, hal itu menunjukkan persatuan ASEAN.
Retno mengungkapkan, ASEAN Leaders Review and Decision on the Implementation of the Five-Point Consensus menjadi salah satu topik yang dibahas dalam ASEAN Foreign Ministers (AFM) Retreat yang digelar di Gedung Sekretariat ASEAN, Sabtu (4/2/2023). “Seperti yang dimandatkan para pemimpin, sebagai ketua (ASEAN 2023), Indonesia telah mengusulkan dan isu itu telah didiskusikan, rencana implementasi Lima Poin Konsensus. Dukungan luas diterima dari semua anggota (ASEAN) untuk rencana ini,” kata Retno saat memberi keterangan pers sesuai AFM Retreat.
Dia mengungkapkan, rencana implementasi Lima Poin Konsensus sangat penting bagi ASEAN, khususnya ketua, sebagai panduan untuk menangani situasi di Myanmar secara kompak. “(Rencana implementasi) ini memperlihatkan persatuan kuat anggota ASEAN untuk menerapkan Lima Poin Konsensus,” ujar Retno.
Retno mengungkapkan, CoC juga menjadi salah satu topik yang dibahas dalam AFM Retreat. "Komitmen para negara anggota (ASEAN) untuk menyelesaikan negosiasi CoC sesegera mungkin, jelas," ujar Retno.
Dia menyebut ada kebutuhan untuk menyepakati CoC yang substantif, efektif, dan dapat diterapkan. “Indonesia siap menyelenggarakan lebih banyak putaran negosiasi CoC tahun ini. Yang pertama akan digelar pada Maret,” ujar Retno.
Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Sidharto R. Suryodipuro mengatakan, niat ketua dan anggota ASEAN tahun ini adalah mengintensifkan negosiasi CoC. “Eksplorasi pendekatan baru akan dilakukan,” ucapnya sesuai Retno menyampaikan keterangan persnya.
Sidharto mengatakan, seperti dalam semua negosiasi, perundingan terkait CoC adalah proses. “Proses itu sendiri mungkin sepenting hasilnya. Jadi proses juga adalah kunci. Dan ini adalah sesuatu yang kami niatkan untuk intensifkan,” ujarnya.
Dia menjelaskan masalah Laut Cina Selatan sudah berlangsung lama. Masalah itu telah eksis sebelum adanya Declaration of Conduct (DoC) dan CoC. “Di antara unsur yang ada di DoC (adalah) semua pihak harus menahan diri dari tindakan yang bisa mengubah situasi di kawasan (Laut Cina Selatan). Indonesia sendiri, kita tidak menerima segala bentuk upaya yang mengubah situasi di laut,” kata Sidharto.
Untuk menangani perselisihan klaim di Laut China Selatan, ASEAN dan China menandatangani DoC di Kamboja pada November 2002. Deklarasi itu memuat komitmen China dan negara-negara ASEAN untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menyelesaikan sengketa secara damai, dan menahan diri dari tindakan yang dapat meningkatkan eskalasi.
Kemudian pada 2011 China dan ASEAN kembali berhasil menyepakati Guideline for the Implementation of the DOC. Kesepakatan tersebut menandai dimulainya pembahasan awal mengenai pembentukan CoC atau kode etik di Laut China Selatan. Fungsinya adalah menghadirkan seperangkat mekanisme atau peraturan tata perilaku untuk negara-negara yang berkepentingan di Laut China Selatan. Dengan demikian, potensi pecahnya konflik akibat tumpang tindih klaim dapat diredam.
Cina diketahui mengklaim sebagian besar Laut China Selatan sebagai teritorialnya. Klaim itu ditentang sejumlah negara ASEAN yang wilayahnya turut mencakup perairan tersebut, seperti Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia. Wilayah Laut Natuna Utara Indonesia juga bersinggungan langsung dengan klaim China di Laut Cina Selatan.