REPUBLIK.CO.ID, JAKARTA -- Gaya hidup vegan kerap dianggap sebagai jalan yang lebih menyehatkan bagi tubuh dan juga bumi. Jadi, haruskah kita semua menjadi vegan atau menerapkan pola makan nabati?
Ahli gizi dari Australia, Nicole Dynan, mengatakan bahwa pesan untuk memperbanyak sayuran dalam jenis diet apa pun adalah hal yang bagus. Pasalnya, individu yang menjalani pola makan vegan atau nabati memiliki risiko lebih rendah terhadap kondisi kesehatan seperti kolesterol, tekanan darah tinggi, risiko penyakit kronis seperti diabetes tipe 2, dan fungsi usus yang lebih baik, karena mereka mendapatkan lebih banyak nutrisi dan serat.
Namun, Dynan mengakui bahwa pola makan vegan tidaklah sempurna. Produk makanan hewani menyumbangkan nutrisi penting yang sulit ditemukan pada alternatif nabati, seperti zat besi, protein, zinc, kalsium, asam lemak omega-3. Apalagi vitamin B12 hampir secara eksklusif ditemukan dalam produk hewani.
“Mempertahankan pola makan vegan yang sehat membutuhkan perencanaan. Jika tidak direncanakan dengan baik, pola makan vegan bisa sama tidak sehatnya dengan pola makan yang mengandung banyak daging,” kata Dynan seperti dilansir ABC, Senin (13/2/2023).
Di Indonesia sendiri, Kemenkes RI telah menggagas pola makan seimbang yang merekomendasikan masyarakat mendapat asupan protein dari hewani (daging) dan nabati (sayur) dalam jumlah tertentu. Alasan sosio-ekonomi dan budaya juga tampaknya sulit bagi sebagian besar masyarakat jika harus menjadi vegan seutuhnya.
"Sebagai solusi, mungkin Anda bisa menjadi vegetarian atau vegan dalam satu minggu atau paruh waktu tertentu," ujar peneliti senior di Environmental Change Institute di University of Oxford, Marco Springman.
Selain memberi manfaat terhadap kesehatan tubuh, vegan juga berdampak baik bagi planet bumi. Panel perubahan iklim PBB mengungkapkan, beralih ke pola makan nabati memberikan peluang besar untuk mengatasi perubahan iklim.
"Teknologi pangan yang sedang berkembang seperti fermentasi sel, daging rekayasa lab, alternatif nabati untuk produk makanan hewani, dan pertanian yang terkendali, dapat membawa pengurangan substansial dalam emisi gas rumah kaca dari produksi makanan," demikian laporan panel tahun 2022.
Springmann juga memiliki pandangan yang sama. Apalagi jika merujuk laporan dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), industri peternakan global menyumbang 14,5 persen emisi gas rumah kaca di dunia, dan sapi bertanggung jawab atas sebagian besar emisi tersebut (sekitar 65 persen).
"Jika kita membandingkan seluruh komoditas makanan, maka sebagian besar makanan hewani memiliki jejak air sekitar 10 kali lebih tinggi daripada makanan nabati," kata Springmann.
Meski secara umum makanan nabati jejak airnya lebih rendah, namun ada beberapa pengecualian. Kacang-kacangan misalnya, kata Springmann, itu menggunakan banyak air. Begitupun dengan beberapa buah dan sayuran seperti halnya kenari yang diproduksi di California menggunakan air dalam jumlah yang cukup banyak.
“Jadi, susu almond yang berbahan dasar kacang-kacangan memang membutuhkan lebih banyak air untuk diproduksi dibandingkan susu kedelai atau oat. Satu gelas susu almond membutuhkan 74 liter air, lebih banyak dibandingkan yang dipakai ketika mandi,” kata Springmann.
Mengenai penggunaan lahan, dr Springmann mengatakan buktinya sudah jelas: jika semua orang menjadi vegan, maka akan ada penghematan penggunaan lahan pertanian, karena sepertiga dari tanaman pangan dunia saat ini diberikan kepada hewan. "Jadi jika memilih vegan, Anda akan memiliki banyak lahan yang tersedia untuk tidak hanya menanam lebih banyak buah, sayuran, kacang-kacangan, kacang-kacangan dan biji-bijian yang seharusnya dimakan, tetapi juga masih ada lahan yang bisa dibebaskan untuk konservasi alam, atau hutan," kata dia.