Rabu 15 Feb 2023 08:02 WIB

Korban Gempa Turki-Suriah Mulai Alami PTSD

PTSD disebabkan oleh peristiwa yang sangat menegangkan, menakutkan, atau menyusahkan.

Rep: Dwina Agustin/ Red: Nidia Zuraya
Orang-orang menunggu di lokasi bangunan yang runtuh di kota Adiyaman, tenggara Turki, Rabu (8/2/2023).
Foto: EPA-EFE/NECATI SAVAS
Orang-orang menunggu di lokasi bangunan yang runtuh di kota Adiyaman, tenggara Turki, Rabu (8/2/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, ISKENDERUN -- Banyak warga yang menderita gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan serangan panik setelah gempa di Turki dan Suriah pada pekan lalu. Laporan ini berasal dari dokter di rumah sakit lapangan Turki di selatan kota Iskenderun dan tim bantuan di Suriah yang menyatakan semakin banyak merawat pasien dengan gejala tersebut.

"Awalnya pasien ... adalah mereka yang menderita luka di bawah reruntuhan ... sekarang lebih banyak pasien yang datang dengan gangguan stres pasca-trauma, mengikuti semua kejutan yang mereka alami selama gempa dan apa yang telah mereka lihat," kata Mayor Angkatan Darat India Beena Tiwari di Turki.

Baca Juga

Tiwari adalah bagian dari tim yang terdiri atas hampir 100 ahli dari India. Mereka mendirikan rumah sakit lapangan untuk merawat korban gempa, setelah rumah sakit setempat hancur.

Menurut Tiwari, banyak orang datang dengan serangan panik. Luasnya korban trauma yang dialami sangat besar karena beberapa telah ditarik dari puing-puing setelah berjam-jam dalam dingin dan kegelapan.

Korban pun harus menemukan fakta anggota keluarga telah meninggal atau hilang. Sedangkan lingkungan yang biasa mereka tinggali telah berubah menjadi gundukan beton yang hancur.

PTSD disebabkan oleh peristiwa yang sangat menegangkan, menakutkan, atau menyusahkan. Orang dengan PTSD dapat menghidupkan kembali peristiwa traumatis tersebut melalui mimpi buruk dan kilas balik dan mungkin mengalami kesulitan tidur dan berkonsentrasi.

"Orang-orang baru sekarang mulai menyadari apa yang terjadi pada mereka setelah masa syok ini," kata seorang pejabat medis Turki.

Sedangkan di seberang perbatasan Suriah, pusat darurat yang dijalankan oleh UNICEF memberi anak-anak pertolongan pertama psikologis. Tim badan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu mendorong mereka untuk bermain dan merasa aman.

Salah satu anak yang tinggal di penampungan adalah Ahmad berusia 9 tahun. "Dengan suara atau gerakan keras apa pun, dia ketakutan. Terkadang saat dia tidur dia bangun dan berkata 'gempa bumi'," kata ayahnya Hassan Moath.

Komandan rumah sakit Iskenderun Yaduvir Singh mengatakan, para tim medis juga melihat lebih banyak pasien dengan penyakit menular dan infeksi saluran pernapasan atas. Kondisi ini akibat ribuan orang yang tinggal di tenda di luar dalam suhu beku akan sangat menderita.

“Awalnya kami mengalami banyak kasus trauma, orang-orang yang terkubur dalam reruntuhan dalam waktu yang lama, selama 72 jam, selama 90 jam,” kata Singh.

"Pada satu orang kami harus melakukan amputasi untuk menyelamatkan nyawanya ... ada operasi penyelamatan nyawa dan anggota tubuh. Sekarang profil kasus berubah," ujarnya.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah meluncurkan permohonan 43 juta dolar AS. Bantuan ini diharapkan dapat memberikan perawatan dan rehabilitasi trauma, obat-obatan esensial, dukungan mental dan psikososial, dan untuk melanjutkan layanan kesehatan rutin di Turki. 

"Kebutuhannya sangat besar, meningkat setiap jam. Sekitar 26 juta orang di kedua negara membutuhkan bantuan kemanusiaan," kata Direktur WHO Eropa Hans Kluge dalam sebuah pernyataan.

Kluge menyatakan, sudah lebih dari sepekan sejak tragedi mengerikan terjadi di Turki dan Suriah. "Ada juga kekhawatiran yang berkembang atas masalah kesehatan yang muncul terkait dengan cuaca dingin, kebersihan dan sanitasi, serta penyebaran penyakit menular," ujarnya.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement