REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama meminta seluruh lapisan masyarakat Indonesia mewaspadai virus Marburg. Virus ini diduga bisa menyebabkan potensi angka kematian mencapai 80 persen.
"Angka kematiannya memang tinggi, berkisar dari 25 sampai 80 persen. Perlu diketahui bahwa ini belum ada obat serta vaksinnya," kata Prof Tjandra di Jakarta, Rabu (15/2/2023).
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara itu menuturkan penyakit Marburg disebabkan virus yang masih satu golongan dengan virus Ebola yaitu filovirus (Filoridae). Tjandra menjelaskan gejala dari Marburg bisa dikatakan mirip dengan Ebola.
Penyakitnya mampu menyebabkan terjadinya perdarahan hebat. Sehingga disebut Marburg Hemorrhagic Fever, yang mirip dengan Ebola Hemorrhagic Fever.
Gejala lain yang penderitanya rasakan adalah demam, diare dengan feses cair yang hebat, nyeri hebat di bagian perut juga merasa lemah. Dalam gejala pendarahan, kerap kali penderita akan muntah darah, buang air besar disertai darah, perdarahan dari hidung, mulut bahkan vagina.
"Hal lain yang perlu diketahui yakni selain menularkan pada monyet Afrika, African green monkeys, penularan penyakit Marburg juga dihubungkan dengan kelelawar jenis Old World Fruit Bat," katanya.
Menurut Tjandra, sudah beberapa kali Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerima laporan kasus dari penyakit Marburg. Sejauh ini potensi menyebar keluar Ekuatorial Guinea yang sekarang melaporkan kasus itu belumlah terjadi dan penyebarannya belum dalam skala yang luas.
Perlu diketahui bila penyakit ini pertama kali diketahui dari adanya sebuah penelitian pada monyet dari Uganda yang diperiksa di sebuah laboratorium di Jerman. Oleh karenanya, Tjandra meminta setiap pihak memahami bahwa Marburg bukan penyakit baru.
Wabah penyakit itu, muncul pertama kali pada tahun 1967 di Kota Marburg. Nama kota tersebut akhirnya dipakai sebagai nama penyakit di Jerman serta Belgrade di Serbia.
Pakar Keamanan dan Ketahanan Kesehatan Global Griffith University Australia Dicky Budiman menambahkan WHO telah konfirmasi 10 orang meninggal akibat wabah virus Marburg di Guinea Equatorial.
Lebih dari 200 orang di karantina dan pembatasan pergerakan diberlakukan. Hal ini menyebabkan virus Marburg menjadi salah satu virus yang terdaftar berpotensi menyebabkan pandemi.
Meski demikian, Dicky menilai penyakit Marburg belum berpotensi pandemi, namun setiap orang harus waspada karena cepat atau lambat maka penyakit itu bisa menjadi ancaman baru.
"Pesan pentingnya? Sudah saatnya dunia dan Indonesia menerapkan pendekatan One Health (satu sehat), pengembangan vaksin dan obat mandiri serta penguatan program kesehatan masyarakat. Suatu hal yang memang tidak mudah dilakukan dan tidak murah," kata Epidemiolog itu.